Ancaman di Balik Kunjungan Presiden Rezim Zionis ke Afrika
https://parstoday.ir/id/news/world-i180038-ancaman_di_balik_kunjungan_presiden_rezim_zionis_ke_afrika
Dalam upaya mengakhiri isolasi internasionalnya, Isaac Herzog, Presiden rezim Zionis, akan melakukan kunjungan ke Afrika.
(last modified 2025-11-10T09:36:56+00:00 )
Nov 10, 2025 16:29 Asia/Jakarta
  • Ancaman di Balik Kunjungan Presiden Rezim Zionis ke Afrika

Dalam upaya mengakhiri isolasi internasionalnya, Isaac Herzog, Presiden rezim Zionis, akan melakukan kunjungan ke Afrika.

Herzog dijadwalkan mengunjungi Zambia dan Republik Demokratik Kongo pada hari Senin, 10 November, dalam rangka memperkuat hubungan diplomatik antara rezim Zionis dan negara-negara Afrika.

Kunjungan ini dilakukan pada saat Israel mengalami tingkat isolasi internasional tertinggi sepanjang sejarahnya, akibat perang di Gaza dan kebijakan agresifnya yang terus berlanjut. Oleh karena itu, infiltrasi Israel di Afrika bukan sekadar proyek diplomatik biasa, melainkan sebuah upaya besar untuk keluar dari isolasi politik dan memulihkan citra internasional rezim yang selama bertahun-tahun dikecam karena pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang terhadap rakyat Palestina.

Bagi Tel Aviv, Afrika memiliki nilai strategis yang jauh melampaui dimensi ekonomi. Dengan lebih dari 50 suara di Majelis Umum PBB, potensi sumber daya mineral yang besar, pasar berkembang, serta kebutuhan investasi asing dari banyak pemerintah Afrika, benua ini dianggap sebagai peluang politik dan ekonomi yang berharga. Bagi Israel, setiap kontrak di bidang pertanian, militer, atau teknologi tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga modal politik yang dapat digunakan untuk menangkis kecaman di lembaga-lembaga internasional.

Banyak negara Afrika memang membutuhkan investasi asing untuk pembangunan, dan Israel memanfaatkan kebutuhan ini untuk mengurangi isolasinya. Kebijakan Tel Aviv di Afrika secara lahiriah tampak seperti dukungan terhadap pembangunan—melalui investasi di bidang pertanian dan air, penjualan peralatan pengawasan, pelatihan aparat keamanan, kontrak pertambangan, dan kerja sama intelijen. Namun kenyataannya, Israel memiliki tujuan tersembunyi yang bersifat politik dan keamanan, seperti menciptakan ketergantungan, memperoleh legitimasi, serta memanfaatkan negara-negara kecil Afrika untuk melawan tekanan internasional.

Negara-negara Afrika yang masih menjalin hubungan dengan Tel Aviv umumnya melakukannya bukan karena kesamaan politik, melainkan karena kebutuhan ekonomi, pinjaman, bantuan keuangan, atau kerja sama keamanan dan militer.

Namun demikian, sebagian besar masyarakat politik dan sipil Afrika menentang pendekatan ini. Ingatan tentang penjajahan, eksploitasi sumber daya alam, dan manipulasi negara-negara lemah oleh kekuatan asing masih segar dalam benak rakyat Afrika.

Sejak masa gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, semangat menentang rasisme telah menjadi bagian dari identitas politik benua itu. Karena itu, rezim Zionis—yang oleh PBB dan lembaga-lembaga HAM dunia dikategorikan sebagai rezim apartheid—tidak mungkin disambut dengan baik di Afrika.

Banyak gerakan politik di Afrika melihat kehadiran Israel sebagai kelanjutan dari pola kolonial lama: kekuatan asing datang dengan janji pembangunan, tetapi pada akhirnya hanya mengejar kepentingannya sendiri. Lebih jauh, ada kekhawatiran serius bahwa kerja sama keamanan dan teknologi pengawasan Israel akan berubah menjadi alat kontrol internal dan represi politik di sejumlah negara Afrika, serta membatasi kemandirian ekonomi dan politik benua itu.

Upaya Israel untuk memperoleh status pengamat di Uni Afrika menjadi contoh nyata. Langkah ini menimbulkan gelombang penolakan di berbagai negara Afrika, karena dianggap mengkhianati warisan solidaritas sejarah Afrika dengan Palestina serta mengabaikan berbagai laporan pelanggaran HAM yang dilakukan Israel.

Kenyataannya, opini publik Afrika memiliki simpati besar terhadap rakyat Palestina. Selama perang Gaza, Afrika Selatan adalah negara pertama yang menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) atas pelanggaran Konvensi Genosida 1948, dan banyak negara Afrika lainnya turut mendukung gugatan tersebut.

Salah satu tujuan utama Israel memperluas hubungan dengan negara-negara Afrika adalah untuk membangun perisai diplomatik terhadap tekanan global. Namun, bila negara-negara Afrika ingin mempertahankan kemandirian sejatinya, mereka harus memahami bahwa di balik senyum diplomatik dan proyek “bantuan teknis” terselubung, terdapat perhitungan politik dan keamanan yang mendalam.

Saat ini, Afrika membutuhkan mitra yang menjunjung pembangunan berkelanjutan dan saling menghormati, bukan hubungan yang berujung pada ketergantungan dan eksploitasi sumber daya.

Akhirnya, Afrika yang sejarahnya sarat perjuangan melawan kolonialisme dan apartheid, harus mempertahankan semangat perlawanan yang sama terhadap upaya infiltrasi Israel. Menerima rezim yang dituduh melakukan pendudukan dan diskriminasi terhadap rakyat Palestina bertentangan dengan warisan kebebasan dan kemandirian bangsa-bangsa Afrika. Jika Benua Hitam ingin tetap setia pada sejarah perjuangan mulianya melawan dominasi asing, maka menolak upaya Israel untuk memperoleh legitimasi adalah satu-satunya jalan untuk menjaga kedaulatan, martabat, dan solidaritas rakyat Afrika.(PH)