KTT Tripartit Negara-Negara Penjamin Proses Astana di Tehran
(last modified Wed, 20 Jul 2022 09:35:06 GMT )
Jul 20, 2022 16:35 Asia/Jakarta
  • KTT Tripartit Negara-Negara Penjamin Proses Astana di Tehran, Selasa (19/7/2022).
    KTT Tripartit Negara-Negara Penjamin Proses Astana di Tehran, Selasa (19/7/2022).

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketujuh Tiga Kepala Negara Penjamin Proses Astana berlangsung pada Selasa malam, 19 Juli 2022 di Aula Pertemuan Kepala Negara di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran.

KTT ini melibatkan Presiden Republik Islam Iran Sayid Ebrahim Raisi, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Iran, Rusia dan Turki telah menggunakan proses yang disebut sebagai "Proses Perdamaian Astana" untuk mengakhiri lebih dari 11 tahun konflik di Suriah.

Iran dan Rusia mendukung pemerintah legal Bashar al-Assad, namun Turki mendukung beberapa kelompok penentang pemerintah Suriah.

Presiden Turki juga telah mengumumkan dimulainya operasi militer baru di Suriah utara untuk menyempurnakan kekurangan dari apa yang dia sebut sebagai "zona aman" di perbatasan Suriah.

Serangan Turki di Suriah utara dengan dalih memerangi terorisme adalah salah satu isu kontroversial di kawasan. Iran menegaskan perlunya penyelesaian masalah Suriah melalui cara-cara politik dan menganggap solusi politik sebagai satu-satunya solusi untuk mengurangi kekhawatiran mengenai keamanan Turki.

Dalam kerangka yang sama, para pejabat diplomatik Iran telah menempatkan konsultasi dengan pihak berwenang Suriah dan Turki dalam agendanya, selama beberapa pekan terakhir.

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian telah melakukan perjalanan ke Ankara dan Damaskus untuk bertemu dengan para pejabat Turki dan Suriah guna menemukan solusi politik dan mencegah meningkatnya ketegangan di kawasan.

Dari sudut pandang Republik Islam Iran, menjaga keamanan dan stabilitas Suriah dan kehadiran kuat negara ini dalam persamaan regional adalah penting. Penyelenggaraan KTT ketujuh para pemimpin negara-negara penjamin Proses Perdamaian Astana di Tehran juga merupakan kelanjutan dari upaya diplomatik Iran untuk menyelesaikan perselisihan saat ini terkait konflik Suriah.

Pemimpin Besar Revolusi Islam dalam pertemuan dengan Presiden Turki juga menekankan bahwa Amerika Serikat (AS) dan rezim Zionis Israel tidak boleh dijadikan sandaran.

"Hari ini, baik rezim Zionis, maupun AS dan pihak-pihak lainnya, tidak akan mampu menghentikan gerakan mendalam rakyat Palestina, dan akhir dari pekerjaan akan menguntungkan rakyat Palestina," tegas Ayatullah Khamenei.

Rahbar selalu menekankan bahwa menjalin hubungan apapun dengan rezim Zionis Israel ,yang merupakan akar dan penyebab utama dari masalah di kawasan dan dunia Islam, adalah salah.

Ayatullah Khamenei mengingatkan pemerintah-pemerintah di kawasan bahwa hubungan dengan Zionis, yang mengejar tujuan-tujuan mereka, tidak akan pernah mengurangi kejahatan mereka terhadap Palestina dan tempat-tempat suci Muslim.

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa rezim Zionis, dengan sejarah panjang pendudukan dan praktik tidak manusiawi, terutama terhadap rakyat Palestina, tidak akan pernah mengupayakan hubungan damai yang mencakup kepentingan bangsa-bangsa Muslim di kawasan.

Normalisasi hubungan rezim Zionis dengan negara-negara Arab dan Muslim memiliki tujuan bagi Israel agar bisa keluar dari keterkucilan di kawasan, melemahkan masyarakat Islam, dan kemudahan untuk melanjutkan pendudukan dan ekspansionisme.

Ayatullah Khamenei juga menganggap kehormatan dan kebesaran umat Islam bergantung pada cara mengatasi perbedaan, dan kewaspadaan terhadap kebijakan yang memecah belah.

Ayatullah Khamenei mengatakan, salah satu penyebab perselisihan dan permusuhan di kawasan ini adalah rezim perampas, Zionis, dan juga dukungan AS kepada rezim ilegal ini. 

Jumpa Pers Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketujuh Tiga Kepala Negara Penjamin Proses Astana berlangsung pada Selasa malam, 19 Juli 2022 di Aula Pertemuan Kepala Negara di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran.

Presiden Iran mengatakan, kedaulatan Suriah adalah garis merah. Kehadiran ilegal Amerika Serikat (AS) di Suriah adalah penyebab ketidakstabilan di negara ini.

"Kami menyatakan dukungan kami untuk solusi politik di Suriah dan perang melawan terorisme. Tekanan ekonomi dan sanksi telah membuat situasi di Suriah semakin rumit. Mengirim bantuan ke Suriah untuk menekan pemerintah negara itu tidak akan menjamin stabilitas Suriah," tegasnya.

Sementara Presiden Rusia mengatakan, dengan pertemuan ini, kami memiliki kesempatan untuk secara aktif bernegosiasi guna memastikan stabilitas di Suriah.

"Berkat kerja sama melalui proses Astana, tingkat kekerasan di Suriah telah menurun dan kami memiliki proses politik. Kami memiliki langkah-langkah untuk negosiasi politik bahwa Suriah dapat menentukan masa depannya tanpa campur tangan asing. Adalah penting bahwa Suriah siap untuk perjanjian ini. Kami prihatin dengan daerah-daerah yang berada di luar kendali pemerintah Suriah. Amerika mencuri sumber daya alam Suriah," kata Putin.

Dalam jumpa pers tersebut, Presiden Turki mengatakan, kami telah memutuskan untuk melawan semua kelompok teroris.

"Kelompok teroris masih aktif di Suriah dan melakukan operasi terorisme. Setiap orang seharusnya tidak mengharapkan Turki untuk tetap diam terhadap kelompok teroris. Turki memahami kekhawatiran Anda yang jelas tentang Idlib dan sedang mencari solusi mendasar. Kami fokus pada solusi politik dan diplomatik untuk menyelesaikan krisis Suriah. Dalam situasi ini, kita harus bersama. Perdamaian di Idlib adalah hasil dari negosiasi yang terjadi di antara kami," ujar Erdogan. (RA)