Hubungan Politik Tunisia dan Suriah; Kegagalan Kampanye Barat Kucilkan Damaskus
Presiden Tunisia Kais Saied menyatakan bahwa telah diambil keputusan untuk memulihkan secara penuh hubungan negaranya dengan Suriah.
Ia menjelaskan bahwa tidak ada justifikasi bahwa Tunisia tidak memiliki dubes di Damaskun dan begitu juga Suriah di Tunis. Saied menambahkan bahwa isu pemerintahan di Suriah berkaitan dengan negara ini sendiir, dan Tunisia akan berinterkasi dengan pemerintah Damaskus. Presiden Tunisia juga menambahkan, tidak pernah menerima disintegrasi Suriah.
Pengumuman dimulainya hubungan politik Tunisia dengan Suriah merupakan pukulan penting lain terhadap kampanye lawas Barat untuk melanjutkan keterkucilan politik Suriah. Meski pemerintah sah Suriah menguasai sebagian besar wilayah negara ini dan kekalahan nyata kelompok teroris serta konsentrasi mereka di Provinsi Idlib dengan dukungan Turki dan kondisi relatif normal di dalam negeri Suriah, tapi barat pimpinan Amerika Serikat sampai saat ini masih melanjutkan sikap permusuhannya terhadap Bashar Assad, presiden dan pemerintah Suriah, serta menentang segala bentuk normalisasi hubungan negara lain dengan Damaskus, khususnya negara-negara Arab.
Meski demikian, sikap Barat mendapat penentangan mayoritas negara-negara Arab yang tergabung dalam poros Barat-Arab selama perang Suriah dengan mendukung kelompok teroris, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Sekaitan dengan ini, sejumlah ketua parlemen negara-negara Arab yang menghadiri sidang Uni Parlemen Arab, demi menekankan dukungannya terhadap Suriah tiba di Damaskus dan bertemu dengan Bashar Assad.
Ketua parlemen Irak, Uni Emirat Arab (UEA), Yordania, Palestina, Libya, Mesid dan ketua delegasi Oman dan Lebanon dalam langkah yang belum pernag terjadi selama 12 tahun terakhir, pada 26 Februari 2023 tiba di Damaskus dan disambut Presiden Bashar Assad. Kunjungan ini dilakukan setelah Ketua Parlemen Irak, Mohammad al-Halbousi pada 25 Februari selama pertemuan ketua dan perwakilan Uni Parlemen Arab, meminta negara-negara Arab mengambil keputusan final untuk kembalinya Suriah ke kelompok negara-negara Arab.
Seiring dengan meletusnya krisis Suriah tahun 2011, Arab Saudi dan sejumlah negara Arab sekutu Barat menjadi pendukung utama kelompok teroris yang melawan pemerintah Suriah, dan dengan menutup kedubesnya di Damaskus, mereka memutus hubungannya dengan Suriah. Kunjungan sejumlah ketua parlemen negara-negara Arab ke Suriah di saat ini menunjukkan bahwa negara-negara tersebut setelah satu dekade sampai pada kesimpulan bahwa melanjutkan kebijakan sebelumnya dan selaras dengan barat serta menurunkan hubungan dengan Suriah tidak ada manfaatnya, dan mereka harus memulai hubungan baru dengan pemerintah Suriah.
Dengan demikian, terlepas dari permintaan Washington, bahkan negara-negara Arab sekutu Amerika Serikat, yang dulu bersatu untuk menggulingkan pemerintah Suriah yang sah, telah menghidupkan kembali hubungan diplomatik dan ekonomi mereka dengan pemerintahan Bashar al-Assad dengan mengubah pendekatan mereka sebelumnya.
Pemerintah Biden, seperti pemerintah Amerika sebelumnya, menginginkan runtuhnya pemerintahan Suriah yang sah dan oleh karena itu menentang tindakan apa pun yang menyiratkan pengakuan atau penguatannya. Meski demikian negara-negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi yang sebelumnya berada dalam satu front di samping Amerika dan menginginkan tumbangnya pemerintahan Bashar Assad, kini dengan jelas menyadari bahwa kebijakan dan langkah Front Barat-Arab bersama Turki di bidang ini sepenuhnya gagal, dan kelompok teroris dukungan mereka yang Amerika bersama mereka persenjatai serta mereka dukung baik secara finansial maupun logistik telah hancur, dan kini sisa-sisa anasir teroris hanya melanjutkan aktivitasnya di Provinsi Idlib dengan dukungan Turki dan Barat.
Tom O'Connor, pengamat politik mengatakan, "Mayoritas negara-negara yang 10 tahun lalu memutus hubungan dengan Suriah, kini dengan memahami fakta baru, menyambut kembalinya Bashar Assad, dan ini terjadi meski ada penentangan berlanjut dari Amerika terhadap pemerintahan Assad."
Sekaitan dengan ini, UEA, Bahrain dan Oman telah membuka kembali kedubesnya di Damaskus. Sementara Arab Saudi, Yordania dan Mesir terus melanjutkan lobinya dengan Suriah untuk menormalisasi hubungan, dan telah dicapai kemajuan signifikan di bidang ini. Normalisasi hubungan Suriah dengan Irak dan Lebanon juga tengah berlangsung, dan kini Tunisia juga membenarkan penerapan kembali hubungan politik dengan Suriah. (MF)