Transformasi Asia Barat, 5 November 2022
(last modified Sat, 05 Nov 2022 11:37:13 GMT )
Nov 05, 2022 18:37 Asia/Jakarta
  • Bom.
    Bom.

Perkembangan di negara-negara Asia Barat selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting seperti penolakan rezim Zionis Israel untuk bergabung ke Traktat Pelarangan Produksi dan Proliferasi Senjata Nuklir.

Komite Pertama Majelis Umum PBB menyusun draf resolusi yang diusulkan oleh Mesir mengenai perlunya rezim Zionis Israel untuk bergabung dengan Traktat Pelarangan Produksi dan Proliferasi Senjata Nuklir dan menempatkan fasilitas nuklirnya di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Draf resolusi ini memperoleh suara mayoritas, 153 suara mendukung, termasuk dukungan dari Republik Islam Iran.

Di sisi lain, negara-negara barat, yang dalam penampilan dan propaganda mereka, sangat mendorong untuk melawan senjata nuklir di dunia, dan bahkan menentang program nuklir damai Iran dengan dalih palsu dan karena tekanan dari rezim Zionis, namun mereka abstain dari draf resolusi yang diusulkan Mesir yang mendesak Israel untuk bergabung dalam Traktat Pelarangan Produksi dan Proliferasi Senjata Nuklir.

Para pejabat di Amerika Serikat (AS) dan Kanada yang mengklaim diri sebagai pemerintah demokratis ditambah negara-negara Eropa memilih abstain dari resolusi yang didukung lebih dari 150 negara itu, padahal resolusi ini nantinya juga tidak mengikat. Hal ini mengungkapkan dengan jelas bahwa negara-negara itu memiliki pendekatan diskriminatif dan standar ganda.

Jika disepakati suara mayoritas adalah ukuran demokrasi, maka harus dikatakan bahwa dalam situasi di mana lebih dari 150 negara memberikan suara mendukung kepada draf resolusi yang diusulkan oleh Mesir, atau dua hari sebelumnya, 170 negara dunia, dalam aksi serupa, menuntut pelaksanaan program Timur Tengah bebas dari senjata nuklir, yang lagi-lagi menyebut rezim Zionis sebagai pemilik senjata nuklir, maka tindakan dan pendeketan negara-negara Barat tersebut dianggap tidak demokratis.

Berdasarkan perkembangan ini, dapat dikatakan pula bahwa salah satu faktor utama penting penolakan rezim Zionis untuk bergabung dengan Traktat Pelarangan Produksi dan Proliferasi Senjata Nuklir atau menolak pengawasan IAEA adalah dukungan langsung dan tidak langsung, terbuka dan tersembunyi dari Barat.

Rezim Zionis tidak akan pernah mencapai teknologi nuklir dengan kecepatan seperti itu tanpa dukungan negara-negara Barat. Dan tanpa dukungan itu, rezim ini juga tidak akan menyimpan dan mengumpulkan senjata tidak konvensional dari hari ke hari serta menghindar dari pengawas dan inspektur internasional.

Dengan cara yang sama, jika bukan karena dukungan pemerintah negara-negara Barat, Palestina dan tanah negara-negara Arab lainnya tidak akan diduduki, dan Timur Tengah, seperti wilayah lain di dunia, akan melihat perdamaian dan mengambil langkah-langkah ke arah perkembangan, konvergensi dan kemajuan.

Atas dasar ini, meskipun tanggung jawab utama atas konsekuensi dari penyembunyiaan aktivitas nuklir oleh rezim Zionis mengenai akhir masa manfaat beberapa pembangkit tenaga nuklir seperti Dimona atau kemungkinan kerusakan fasilitas nuklir akibat kemungkinan konflik di kawasan yang disebabkan kelanjutan kebijakan ekspansionis rezim ini di dalam dan serangannya di luar berada di pundak rezim ilegal itu, namun pada saat yang sama, dunia tidak dapat mengabaikan peran dan tanggung jawab moral, kemanusiaan dan hukum negara-negara Barat.

Rezim Zionis menempatkan senjata nuklir dalam agendanya untuk mengkompensasi kelemahan kedalaman strategisnya ketika pada saat itu Poros Perlawanan belum mencapai kekuatan pencegahan di bidang rudal seperti saat ini.

Sementara sekarang, Poros Perlawanan telah mencapai  teknologi di bidang rudal dan bahkan semua wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel berada di bawah jangkauan rudal-rudal Poros Perlawanan. Untuk itu, dalam perang regional yang komprehensif, semua fasilitas nuklir rezim Zionis dalam jangkauan rudal, bahkan jejaknya bisa dilihat dalam perang Ukraina.

Dalam situasi seperti itu, setiap langkah menyembunyikan dan pengabaian atas penolakan Israel terkait aktivitas nuklirnya akan dianggap sebagai ketidakadilan bagi diri sendiri dan pihak lain, dan itu dapat memiliki konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.

Yang menambah kekhawatiran dalam hal ini adalah tumbuhnya kecenderungan ekstremis dan anti-perdamaian dalam masyarakat Zionis, yang dapat dipahami dengan melihat komposisi partai dan sifat pemerintahan koalisi yang rapuh dan tidak stabil yang dibentuk di Palestina pendudukan (Israel).

Sistem Pertahanan Udara Israel Dipasang di UEA

Media Rezim Zionis mengunggah citra satelit terkait Uni Emirat Arab yang memasang sedikitnya dua sistem pertahanan udara Israel, Barak di negara itu.

Dikutip Jerusalem Post, Sabtu (29/10/2022), dua sistem pertahanan udara Israel, Barak itu dipasang untuk menangkis apa yang diklaim sebagai ancaman udara dari Iran.

Berdasarkan foto satelit yang diunggah Jerusalem Post, nampak bahwa sistem pertahanan udara Israel, dipasang di pangkalan udara Al Dhafra, dekat Abu Dhabi.

Menurut koran Rezim Zionis, UEA adalah salah satu bagian dari kampanye militer melawan Yaman, yang diklaim didukung Iran, dan dalam beberapa bulan terakhir beberapa kali menjadi sasaran serangan rudal dan drone Yaman.

Rezim Zionis sebelumnya menawarkan bantuan militer kepada UEA untuk menghadapi serangan-serangan rudal dan drone dari Yaman.

Penempatan sistem pertahanan udara Israel, Barak ini berdasarkan kontrak yang ditandatangani sebelumnya oleh dua pihak, dan rencananya sistem-sistem anti-pesawat lain juga akan ditempatkan di UEA.

Ulama Sunni Irak: Atasi Teror, Perintah Ayatullah Khamenei Harus Dijalankan

Ketua Persatuan Ulama Ahlu Sunnah Irak mengatakan, semua pihak harus menjalankan perintah Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei untuk menggagalkan kejahatan para teroris, dan bekerja sama satu dengan lainnya.

Syeikh Khalid Al Mulla, Sabtu (29/10/2022) mengucapkan belasungkawa kepada Ayatullah Khamenei, dan rakyat Iran, atas gugur dan terlukanya sejumlah warga Iran, dalam serangan teror di Makam Ahmad bin Musa di kota Shiraz.

Ia menuturkan, "Kejahatan yang sangat keji ini sungguh telah membuat kami bersedih, karena sangat kejam dan menyebabkan beberapa orang gugur serta terluka di sebuah tempat suci yang merupakan makam salah satu cucu Nabi Muhammad Saw."

Syeikh Khalid Al Mulla menambahkan, "Kejahatan yang terjadi di Republik Islam Iran, dan terjadi juga di Irak, Suriah, serta beberapa negara lain, dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris Takfiri yang sepenuhnya menjalin hubungan dengan imperialis global, dan didanai oleh Amerika Serikat."

Menurutnya, mungkin lokasi kejahatan teror berbeda-beda, tapi tetaplah AS yang menjadi penggerak dan pendukungnya. AS berusaha menciptakan kekacauan di negara-negara dan kawasan Asia Barat, dan dengan menyerang Iran, ia berharap bisa menghambat kemajuan negara itu terutama kemajuan ilmu pengetahuan.

"AS masih berusaha membinasakan kebangkitan Islam di tengah umat Muslim, dan untuk menggagalkan upaya para teroris, seluruh perintah Ayatullah Khamenei harus dijalankan, dan semua pihak harus bekerja sama," imbuhnya.

Syeikh Al Mulla menegaskan, "Israel adalah musuh kita, Rezim Zionis membiayai mata-mata dan orang bayarannya untuk menyerang struktur sosial Republik Islam Iran. Kejahatan ini tidak ditolerir oleh ulama Ahlu Sunnah dan Syiah. Semua orang menentang kejahatan-kejahatan semacam ini."

Mengapa Dewan Keamanan PBB Gagal Mengatasi Krisis Palestina?

Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan mengenai perkembangan terbaru di Palestina dalam dua sesi, pagi dan sore baru-baru ini.

Meskipun pertemuan ini tidak mencapai akhir yang pasti, paling tidak terbuka kesempatan bagi negara-negara anggota untuk mengekspresikan posisi mereka. Posisi-posisi ini mengungkapkan bahwa rezim Zionis Israel telah sepenuhnya melakukan pelanggaran terhadap prinsip dan hukum internasional dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB.

Duta Besar dan Wakil Tetap Republik Islam Iran untuk PBB Saeed Iravani menyatakan bahwa menurut berbagai laporan, 2022 telah menjadi tahun paling mematikan bagi rakyat Palestina sejak 2006 hingga sekarang. Dia menekankan perlunya dukungan Dewan Keamanan PBB kepada rakyat Palestina.

Dubes Iran untuk PBB menuturkan, pelanggaran hak asasi manusia , perusakan harta benda warta Palestina, dan pengusiran paksa mereka dari rumah mereka adalah salah satu kejahatan rezim Zionis terhadap rakyat Palestina, yang telah berlangsung selama 74 tahun, dan kejahatan ini melanggar semua hukum dan norma internasional, dan Palestina membutuhkan dukungan Dewan Keamanan.

Menurut pengumuman Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, sejak awal tahun ini, rezim Zionis telah membunuh 118 warga Palestina, termasuk 26 anak-anak dan lima wanita, hanya di wilayah Tepi Barat.

Majid Abdulfattah Abdulaziz, Wakil Liga Arab, mengatakan, mendengarkan laporan dasar PBB, yang menekankan bahwa Israel terus menerapkan kebijakan pembangunan distrik yang bertentangan dengan Resolusi 2334 Dewan Keamanan tahun 2016 dan tidak menghentikan pembunuhan dan penindasan terhadap bangsa Palestina yang tak berdaya, serta Dewan Keamanan juga belum menjatuhkan sanksi apapun untuk memaksa Israel menghormati resolusi dewan ini, adalah tidak logis dan juga tidak sejalan dengan aturan legitimasi internasional.

Dia juga menyinggung kesepakatan ganda rezim Zionis, dan mengatakan, tidak logis bagi Israel untuk mengejar kesempatan dan mengutuk pendudukan Rusia atas Ukraina, sementara ia sendiri telah menduduki semua wilayah Palestina dalam tindakan yang bertentangan dengan Resolusi 181 Dewan Keamanan tahun 1947, yang menyerukan pembentukan dua negara.

Israel tidak hanya menolak untuk datang ke meja negosiasi langsung untuk pembentukan negara Palestina merdeka dengan al-Quds sebagai ibu kotanya, tetapi juga mencoba untuk memaksakan kendalinya atas al-Quds al-Sharif dan melakukan pembunuhan dan kejahatan di kota ini serta pendudukan wilayah Palestina lainnya. Tindakan ini merupakan pelanggaran yang jelas terhadap resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB selama bertahun-tahun, dan anehnya, masalah itu tidak menjadi subjek pertanyaan sedikit pun dalam sidang-sidang dewan tersebut.

Palestina harus dianggap sebagai kuburan dari puluhan resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum organisasi ini, yang disetujui untuk melindungi hak-hak minimum rakyat Palestina, atau prinsip dan hukum internasional lainnya yang disiapkan untuk menghukum penjajah dan menciptakan pencegahan terhadap imperialis, atau untuk melindungi hak-hak rakyat Palestina.

Jika resolusi-resolusi ini, --yang secara langsung dan tidak langsung menekankan penarikan tanpa syarat rezim Zionis dari wilayah pendudukan tahun 1967, termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza di Palestina dan wilayah Golan di Suriah yang diduduki Israel, serta tidak mengubah konteks geografis dan demografisnya-- dilaksakanan sepenuhnya atau hak untuk membela diri bagi rakyat Palestina, --yang ditentukan dalam Piagam PBB, diakui dan tidak akan diganti dengan kata lain seperti sebagai kekerasan dan terorisme--, maka krisis Palestina tidak akan berlansung seperti sekarang ini dan rezim Zionis tidak menemukan jalan untuk menyalahgunakannya seperti saat ini.

Faktanya, sikap diskriminatif inilah yang menyebabkan berkepanjangannya krisis Palestina dan berlanjutnya pendudukan Zionis dengan kedok pembangunan pemukiman. Dari sudut pandang ini, sebagian besar tanggung jawab atas penindasan pendudukan dan kejahatan Zionis di tanah Palestina diarahkan pada mereka yang menjadi penyebab diskriminasi, yaitu pemerintah Barat, terutama Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, lepas tanggung jawab yang dilakukan Dewan Keamanan PBB juga tidak dapat diabaikan.

Dalam catatan PBB, ada tokoh-tokoh seperti almarhum Kofi Annan yang mencoba membawa kinerja organisasi ini lebih dekat ke tujuan dan tanggung jawab yang ditetapkan, tetapi sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, orang-orang yang telah mengambil tanggung jawab untuk memimpin organisasi ini telah menjauhkan dari tujuan tersebut, dan mendekatkannya ke arah kebijakan kekuatan Barat dan AS, sehingga tercipta peluang bagi rezim Zionis untuk mencapai ketamakannya.

Oleh karena itu, agar bisa memenuhi tanggung jawab dan tujuan dari definisi PBB, harus dilaukan reformasi struktural di dalamnya, yang sayangnya belum pernah tercapai selama ini.

Meskipun otoritas Ramallah pasif dan gembira atas kinerja PBB dan institusi lain yang berafiliasi dengannya, namun rakyat Palestina, seperti yang terlihat di Jenin dan Nablus hari ini dan berkembang ke wilayah lain di Tepi Barat, mereka menganggap perlawanan bersenjata sebagai cara untuk menyelamatkan diri dan menghadapi kejahatan rezim Zionis yang berusaha menduduki Tepi Barat secar penuh.

Terkait hal itu, rakyat Palestina lebih memilih untuk mendukung kelompok-kelompok perlawanan baru seperti Arin al-Aswad, dan tidak lagi berharap dan gembira atas dukungan asing, termasuk dukungan dari PBB dan bahkan Liga Arab.

Sekjen Hizbullah: Musuh-Musuh Iran akan Kembali Berputus Asa

Sekjen Hizbullah Lebanon menyinggung pawai akbar rakyat Iran hari Jumat kemarin dan mengatakan, pawai akbar ini membuktikan bahwa musuh-musuh Iran, kembali akan berputus asa.

Sayid Hassan Nasrullah, Sabtu (29/10/2022) malam dalam pidatonya, membahas perkembagan terbaru Lebanon, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kawasan Asia Barat.

Ia menuturkan, "Kehadiran luas masyarakat dan sikap kokoh yang diambil Iran adalah awal dari pembalasan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam fitnah dan konspirasi ini."

Terkait kesepakatan penetapan garis batas laut dengan Rezim Zionis, Sekjen Hizbullah Lebanon menyebut kesepakatan ini sebagai peristiwa bersejarah dan kemenangan besar.

"Perbatasan laut ini ditetapkan oleh Inggris dan Prancis pada awal Abad ke-20 tanpa memperhatikan kehendak rakyat Lebanon, dan Palestina," imbuhnya.

Sekjen Hizbullah menjelaskan, pemerintah Lebanon di bawah pengawasan Parlemen sebagai pihak yang menetapkan perbatasan laut, dan Hizbullah sebagai kelompok perlawanan dalam perundingan ini tidak ikut campur dengan banyak alasan, dan Hizbullah akan berkomitmen pada apa yang sudah diakui resmi oleh pemerintah Lebanon.

Batalion Jenin Ajak Otorita Ramallah Gabung Barisan Rakyat

Pasukan perlawanan Batalion Jenin di Tepi Barat mengajak Otorita Ramallah Palestina untuk bergabung dalam barisan perlawanan rakyat, dan membiarkan pasukan perlawanan untuk melindungi rakyat Palestina secara bebas.

Batalion Jenin, Senin (31/10/2022) mengumumkan, "Pesan kami untuk Otorita Ramallah adalah, jika mereka meyakini tekad rakyat Palestina, maka bergabunglah dengan perlawanan dan biarkan para pejuang perlawanan membela rakyat Palestina secara bebas."

Ditambahkannya, "Rakyat Palestina sudah hilang kepercayaan pada Otorita Ramallah dan para pemimpinnya karena pendudukan, agresi, dan berkuasanya sejumlah banyak kabinet sayap kanan ekstrem di Wilayah Pendudukan, dan mereka mendukung kelompok perlawanan."

Batalion Jenin menegaskan, "Rezim Zionis Israel tidak pernah menghormati kesepakatan apa pun, dan kabinet-kabinet Israel, adalah gerombolan-gerombolan penjahat."

Hizbullah: Pertama Kalinya Lebanon Menang atas Zionis tanpa Peluru

Wakil Sekjen Hizbullah Lebanon mengatakan, untuk pertama kalinya dalam sejarah konfrontasi melawan Rezim Zionis dan Amerika Serikat, Lebanon berhasil merebut haknya tanpa melepaskan satupun peluru.

Syeikh Naim Qassem, Senin (31/10/2022) menuturkan, Lebanon berhasil meraih kemenangan besar dalam perundingan penetapan garis batas laut dengan Rezim Zionis.

Ia menambahkan, "Kemenangan besar yang dicapai di laut, perairan dan gas kami, tercatat atas nama Presiden Michel Aoun yang bekerja sama dengan militer, rakyat dan kelompok perlawanan, serta koordinasi nasional sehingga prestasi luar biasa ini diraih."

Wakil Sekjen Hizbullah menjelaskan, kemenangan ini adalah kemenangan luar biasa dan tak ada duanya dalam sejarah. Sebuah negara lemah jika dibandingkan dengan musuh, berkat perlawanan rasionalnya bersama rakyat yang bersatu, berhasil menang atas Israel dan AS, dan merebut haknya.

"Prestasi dan kemenangan besar ini harus langsung dicatat bahwa untuk pertama kalinya kami meraih kemenangan ini tanpa menembakan peluru meski satu butir," pungkasnya.

Apakah Putra Mahkota Saudi Benar-Benar Lakukan Reformasi?

Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS) Reema binti Bandar bin Sultan bin Abdulaziz Al Saud dalam wawancara dengan CNN baru-baru ini mengklaim bahwa reformasi di Arab Saudi adalah nyata dan bahwa negara telah mengambil tindakan selama lima tahun terakhir yang tidak dilakukan dalam 80 tahun lalu.

Menanggapi pernyataan ini, Organisasi Hak Asasi Manusia Eropa-Arab Saudi menggambarkan reformasi yang dilakukan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman (MBS) sebagai palsu dan bohong.

MBS diangkat sebagai Putra Mahkota Arab Saudi pada Juni 2017. MBS telah menghapus pembatasan di bidang sosial dalam lima tahun terakhir. Misalnya, dia memberi perempuan hak untuk mengemudi, memberikan izin untuk mengadakan konser, dan mengizinkan perempuan untuk menghadiri pertandingan sepak bola di stadion.

MBS menyebut langkah-langkah tersebut sebagai reformasi, yang beberapa di antaranya dianggap sebagai hak dasar setiap warga negara, termasuk perempuan, namun di sisi lain, dia belum melakukan tindakan apa pun di bidang hak politik untuk perempuan Arab Saudi.

Isu yang lebih penting adalah bahwa pada dasarnya para pengamat hubungan internasional dan hukum internasional tidak menganggap MBS sebagai pemimpin reformis, dan bahkan mereka menganggapnya sebagai pribadi yang otoriter dan salah satu pelanggar utama hak asasi manusia dalam tatanan dan sistem dunia.

Presiden AS Joe Biden secara resmi mengumumkan selama masa kampanye pemilu presiden bahwa dia akan mengubah Arab Saudi menjadi negara yang tertolak. Alasan utama komentar Biden ini adalah pelanggaran berat hak asasi manusia oleh pemerintah Riyadh. Oleh karena itu, reformasi yang diklaim MBS tidak diterima bahkan oleh pendukung terpenting Arab Saudi dalam sistem dunia.

Di samping penghapusan beberapa pembatasan sosial, Putra Mahkota Arab Saudi telah meningkatkan pembungkaman politik di kerajaan itu. Organisasi Hak Asasi Manusia Eropa-Arab Saudi yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Arab Saudi mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa kasus pelanggaran HAM telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dari penangkapan sewenang-wenang hingga hukuman yang lama terhadap aktivis HAM.

Selain itu, terjadi pula peningkatan eksekusi yang tidak adil, pengusiran paksa para aktivis dan penindasan terhadap lembaga-lembaga sipil, di mana semua ini semua menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi di Arab Saudi tidak dapat dianggap positif atau disebut sebagai reformasi.

Organisasi Hak Asasi Manusia Eropa-Arab Saudi menekankan bahwa perubahan yang dibanggakan Al Saud yang terjadi selama lima tahun terakhir adalah termasuk peningkatan dua kali lipat jumlah orang-orang yang dihukum mati, yang berjumlah seribu hukuman termasuk hukuman mati terhadap anak-anak.

Di antara orang-orang yang menghadapi kemarahan rezim Al Saud berasal dari berbagai kalangan. Ada  sebagiannya adalah para pangeran Arab Saudi, ada pula aktivis sipil dan agama. Kemudiian ada pula warga biasa yang memprotes kondisi kehidupan dan bahkan beberapa mufti termasuk di antara orang-orang yang dipenjara oleh MBS dan dijatuhi hukuman penjara.

Di antara orang-orang itu, ada juga orang-orang yang membela hak-hak perempuan di Arab Saudi, tetapi mereka berada di penjara, dan disiksa serta dirampas haknya untuk hidup. Oleh karena itu, apa yang dilakukan MBS di Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir bukanlah reformasi dan perhatian pada nilai-nilai hak asasi manusia, tetapi tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan popularitas dan penerimaan generasi muda Arab Saudi, sebab kekerasan struktural justru telah meningkat jauh lebih banyak.

Sistem Keamanan Rezim Zionis Gagal Hadapi Arin Al Aswad

Juru Bicara Batalion Mujahidin Palestina mengatakan bahwa kelompok Arin al-Aswad telah menghancurkan sistem keamanan dan militer rezim Zionis.

Abu Bilal, Juru Bicara Batalion Mujahidin, salah satu sayap militer gerakan perlawanan Palestina dalam sebuah wawancara dengan Iran Press di Gaza hari Selasa (1/11/2022) menyatakan bahwa operasi perlawanan Palestina di berbagai wilayah Tepi Barat Sungai Yordan telah membingungkan rezim Zionis.

"Segala bentuk perlawanan terhadap pendudukan Zionis adalah hak rakyat Palestina untuk mempertahankan tanah mereka dan Masjid Al-Aqsa, dan mengakhiri pendudukan," ujar Abu Bilal.

Abu Bilal juga memuji operasi militer Batalion Mujahidin, Batalion Quds, Arin al-Aswad, Batalion Al-Aqsa dan kelompok perlawanan Palestina lainnya menghadapi rezim Zionis.

Saat ini berbagai wilayah Tepi Barat Sungai Yordan menjadi pusat perlawanan terhadap pendudukan rezim Zionis.

Kelompok Arin al-Awad adalah poros utama perlawanan di Tepi Barat Sungai Yordan.

Para pemuda yang bergabung dalam kelompok ini menantang rezim Zionis di berbagai dimensi militer dan keamanan dengan perlawanan yang jelas dan terarah.

Suriah ke Israel: Cepat atau Lambat Serangan Kalian akan Dibalas !

Menteri Luar Negeri Suriah dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa negaranya sedang berada dalam kondisi ideal untuk membalas serangan-serangan Rezim Zionis.

Dikutip Sputnik, Selasa (1/11/2022), Faisal Mekdad menuturkan, "Mereka (Israel) memanfaatkan lewatnya sejumlah pesawat sipil, dan menembak target dari bawah atau atas pesawat-pesawat tersebut."

Ia menambahkan, "Pada kondisi seperti ini ketika rudal-rudal Suriah ditembakan untuk membalas serangan, mungkin saja mengenai pesawat-pesawat sipil tersebut, dan setelah itu yang disalahkan adalah pemerintah Suriah, karenanya dalam kondisi seperti ini kami tidak bereaksi."

Menlu Suriah lebih lanjut menjelaskan, "Sikap kami terkait serangan-serangan ini jelas, kami katakan kepada Tel Aviv, dan kami memperingatkan Israel, cepat atau lambat semua permusuhan ini akan dibalas."

Ia menegaskan, "Kami tidak menginginkan konfrontasi, dan apa yang sekarang kami butuhkan adalah kebijaksanaan, bukan konfrontasi dan berdiri di atas reruntuhan."

Menurut Faisal Mekdad, pemerintah Suriah beberapa kali meminta PBB untuk menghentikan serangan Israel ke negaranya, dan ia berjanji Rezim Zionis akan segera menerima balasan kejahatannya.

Warga Lebanon Minta Dubes Saudi Diusir dari Negara Mereka

Kehadiran Duta Besar Arab Saudi untuk Lebanon, di sebuah acara yang digelar suku-suku negara itu, telah membangkitkan kemarahan para hadirin, dan mereka meminta pemerintah Riyadh memecatnya.

Waleed Al Bukhari, seperti dikutip Russia Today, Rabu (2/11/2022) turut menghadiri acara suku-suku Lebanon, di dekat wilayah Bekaa, sehingga menyebabkan kemarahan masyarakat Lebanon, dan menuntut pengusiran Dubes Saudi itu dari negara mereka.

Menurut keterangan orang-orang yang mendampingi Dubes Saudi di acara tersebut, ia terpaksa meninggalkan acara sebelum selesai karena masalah keamanan di antara kelompok suku.

Kehadiran Dubes Saudi di acara tersebut membangkitkan kemarahan warga Lebanon, dan mereka meminta Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman untuk memecatnya.

Salah seorang warga Lebanon yang hadir dalam acara itu mengatakan, "Lebanon tidak pernah meminta bantuan apa pun dari Saudi, negara ini hanya menginginkan kemuliaan dan harga diri."

Ia menambahkan, "Kemuliaan para syeikh dan suku-suku di Lebanon lebih penting dari seorang pegawai pemerintah di Saudi, dan kami meminta Mohammed bin Salman untuk memecat Waleed Al Bukhari."

Sebelumnya, Dubes Saudi juga menghadiri acara suku-suku Lebanon, dan berupaya menarik perhatian rakyat negara itu terhadap kebijakan Riyadh, namun langkahnya itu telah menimbulkan masalah, bentrokan dan protes luas di Lebanon.

Meskipun Netanyahu Berkuasa, Israel Tak akan Bisa Selesaikan Masalah Ini!

Penyelenggaraan pemilu parlemen di Palestina pendudukan (Knesset), bahkan jika itu mengarah pada pembentukan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, tidak akan dapat menyelamatkan rezim Zionis Israel dari tantangan dan masalah internal dan eksternal.

Mengapa demikian? Sebab sebagian tantangan dan persoalan yang dihadapi berasal dari struktural dan tidak akan teratasi dengan pergantian kabinet dan pemerintahan. Di antara tantanan itu adalah kesenjangan agama, kelas dan etnis.

Tetapi beberapa tantangan lainnya kurang lebih sesuai dengan sifat pemerintahan koalisi. Menurut pengalaman masa lalu, jika Netanyahu berhasil membentuk pemerintahan baru, seperti yang dikatakan, dia akan menghadapi serangkaian tantangan dan persoalan di dalam dan luar.

Dalam kasus korupsi keuangan dan politik, dia kini berada di sela-sela dan akan dibawa kembali ke konteks perkembangan politik oleh partai-partai rival, serta akan melibatkan kabinet baru. Selain itu, karena kemenangan dan penguatan partai-partai sayap kanan, maka perpecahan agama kemungkinan besar akan meningkat.

Yang paling penting adalah bentrokan dan konflik antara Zionis dan warga Palestina akan meningkat dan akan tercipta landasan yang lebih banyak bagi aktivitas dan ruang lingkup kelompok-kelompok baru perlawanan seperti Arin al-Aswad atau Bisheh Shiran.

Di luar Palestina pendudukan, meski ada kemungkinan kemenangan partai sayap kanan dalam pemilu Knesset akan meninggalkan dampak psikologis pada penguatan posisi Partai Republik dalam pemilu paruh waktu Kongres Amerika Serikat (AS), tapi setidaknya, selama Joe Biden dan Demokrat berkuasa, ketegangan dan tantangan akan kembali dalam hubungan antara Tel Aviv dan Washington, dan masa bulan madu Biden dan Yair Lapid pun akan berakhir.

Selain itu, jika Netanyahu ingin memenuhi janji pemilu untuk membatalkan perjanjian perbatasan laut dengan Lebanon, maka selain akan menciptakan ketegangan dan konflik, langkah itu juga akan memicu reaksi keras dari Eropa, sebab Eropa yang akan melewati musim dingin yang sulit, telah memperhitungkan secara khusus tentang minyak dan gas Laut Mediterania dan implementasi kesepakatan tentang delineasi perbatasan laut Lebanon dan Israel.

Jika Netanyahu benar-benar melakukan janjinya, maka tindakan Netanyahu dalam hal ini akan serupa dengan tindakan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman dalam pertemuan OPEC+, yang tidak setuju untuk meningkatkan batas produksi minyak, padahal pemerintah Biden telah melakukan lobi dan konsultasi. Biden kemudian menuding Arab Saudi bermain di "lapangan" Presiden Rusia Vladimir Putin. Pernyataan masing-masing pejabat AS dan Arab Saudi dalam masalah tersebut  juga sempat menyulut ketegangan antara Washington dan Riyadh.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa ketika partai-partai sayap kanan berkuasa di Palestina pendudukan (Israel), negara-negara dan organisasi internasional, terutama Barat, menemukan lebih banyak kebebasan bertindak untuk menghadapi kebijakan ekspansionis dan anti-perdamaian yang dilakukan rezim Zionis, dan setidaknya mereka tidak menghalangi upaya negara-negara lain. Dari sudut pandang ini, ada lebih banyak ruang untuk memperkuat atmosfer gerakan anti-Zionis di dunia.

Secara umum, meskipun ada kemungkinan bahwa kemenangan partai-partai sayap kanan akan membuka jalan bagi pembentukan kabinet koalisi yang relatif tahan lama di bawah kepemimpinan Netanyahu, tapi itu tidak akan pernah mengurangi persoalan dan perpecahan rezim ini, bahkan mungkin akan memperbesar dan memperdalam perselisihan ini, apalagi Netanyahu tidak menutup kemungkinan melakukan kesalahan strategis baru sehubungan dengan kesepakatan demarkasi perbatasan laut dengan Lebanon. Menurut banyak pejabat Zionis dan Barat, Netanyahu juga menjadi pihak yang dulu pernah memaksa Donald Trump untuk menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA.

Penghitungan Suara Pemilu Zionis Selesai, Koalisi Netanyahu Menang

Radio Militer Rezim Zionis Israel, Galei Tzahal mengabarkan selesainya penghitungan suara dalam pemilu parlemen Knesset, periode kelima.

Radio Militer Israel, Kamis (3/11/2022) melaporkan, berdasarkan hasil penghitungan suara akhir pemilu Knesset, Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu meraih 32 kursi, Partai Yesh Atid pimpinan Yair Lapid 24 kursi, dan Partai HaTzionut HaDatit pimpinan Bezalel Smotrich 14 kursi.

Sementara Partai HaMahane HaMamlakhti pimpinan Benny Gantz mengantongi 12 kursi, Partai Shas pimpinan Aryeh Deri mendapatkan 11 kursi, Partai Yahadut HaTora pimpinan Yitzhak Goldknopf tujuh kursi, dan Partai Yisrael Beiteinu pimpinan Avigdor Lieberman enam kursi,.

Dengan demikian koalisi Benjamin Netanyahu secara keseluruhan memperoleh 64 kursi di Parlemen Rezim Zionis, dan berhak membentuk kabinet berikutnya.

Sejumlah politisi Zionis yang berkoalisi dengan Netanyahu di susunan Parlemen baru rezim itu sebagian dari mereka sama sekali tidak punya pengalaman politik, tapi mengklaim memegang posisi kunci.

Di sisi lain, Bezalel Smotrich dan Itamar Gvir dua pimpinan partai kanan ekstrem Rezim Zionis, tokoh Zionis yang berkoalisi dengan Netanyahu, memiliki rekam jejak kejahatan dan aksi ekstrem serta pernah dijebloskan ke penjara.

Hizbullah Bongkar Plot Kedutaan AS dan Saudi Sulut Kerusuhan di Lebanon

Wakil Ketua Dewan Eksekutif Hizbullah Lebanon mengkritik peran destruktif kedutaan Amerika Serikat dan Arab Saudi di Beirut dalam memperuncing krisis internal Lebanon.

Para anggota parlemen Lebanon telah mencoba melakukan sidang pemungutan suara sebanyak empat kali dalam sebulan terakhir untuk menentukan pengganti Michel Aoun setelah akhir masa jabatannya sebagai presiden selama enam tahun. Tetapi mereka kembali gagal yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang intensifikasi krisis politik di negara ini.

Menurut situs Al-Nushra, Sheikh Ali Damoush, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Hizbullah di Lebanon dalam khutbah hari Jumat (4/11/2022) menyinggung kekosongan jabatan presiden di negaranya setelah berakhirnya masa jabatan Michel Aoun, dengan mengatakan, “Kedutaan besar Amerika Serikat dan Arab Saudi bersama pengikut mereka di Lebanon menginginkan seorang presiden yang memisahkan sesama elemen bangsa Lebanon, memperdalam perbedaan dan membawa negara itu ke dalam hasutan dan konflik internal,".

"Kami menginginkan seorang presiden yang akan menyatukan rakyat Lebanon, menangani krisis mereka, memerangi korupsi dan melindungi negara, serta menghadapi musuh-musuh Lebanon," ujar Sheikh Damoush.

"Semakin lama kekosongan presiden Lebanon berlangsung, maka dampaknya terhadap situasi ekonomi dan mata pencaharian negara ini akan semakin besar," tegasnya.

Al Wefaq Dukung Pidato Paus Fransiskus tentang Penegakkan HAM di Bahrain

Gerakan Islam Bahrain, Al-Wefaq mengumumkan dukungannya terhadap pidato pemimpin Katolik dunia, Paus Fransiskus yang menyinggung urgensi penegakkan hak asasi manusia di Bahrain.

Pada hari Kamis, Paus Fransiskus memasuki Manama, ibu kota Bahrain untuk berpartisipasi dalam konferensi internasional "Perdamaian dan Koeksistensi" yang diselenggarakan oleh pemerintah Bahrain.

Gerakan Al-Wefaq, kelompok oposisi terbesar Syiah di negara ini, dalam sebuah pernyataan hari Jumat menyatakan dukungannya atas pidato Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik dunia, tentang kebutuhan Bahrain untuk menerapkan seperangkat prinsip dan aturan yang terkait dengan kebebasan, serta menghentikan diskriminasi dan mematuhi hak asasi manusia.

"Kami menghargai pernyataan Paus Fransiskus yang menekankan perlunya memperkuat kesetaraan dalam hak, menjamin dan memperhatikan semua orang, termasuk yang marjinal di tengah masyarakat, seperti tahanan, dan menghapuskan hukuman mati," kata pernyataan Al Wefaq kemarin.

"Kami setuju dengan apa yang dikatakan Paus Fransiskus dan kami menuntut implementasi rencana serius untuk menghentikan diskriminasi dan mewujudkan kebebasan," tegasnya.

Al-Wefaq melanjutkan pernyataannya dengan menekankan, "Kami mengkonfirmasi kebenaran dan objektivitas dari apa yang disampaikan dalam pidato ini. Tentu saja, kenyataannya jauh lebih buruk dari ini, dan kami menekankan bahwa situasi krisis ini, seperti yang diminta oleh Paus Fransiskus, membutuhkan tindakan nyata,".

Dalam pidato selama kunjungan pertamanya ke Bahrain, Paus Fransiskus menyampaikan serangkaian nilai dan prinsip kemanusiaan yang penting dan perlu terkait dengan krisis politik, hukum, dan kemanusiaan di negara ini.

Sejak awal revolusi rakyat Bahrain pada 2011, rezim Al Khalifa telah memenjarakan ribuan pengunjuk rasa, jurnalis, dan aktivis sipil di negara ini.