Apakah Teror Komandan Senior Hizbullah Menjadi Pemicu Perang?
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i181016-apakah_teror_komandan_senior_hizbullah_menjadi_pemicu_perang
Pars Today - Harian Lebanon al-Akhbar pada hari Selasa (25/11/2025) dalam sebuah laporan analisis berupaya menjawab pertanyaan apakah tindakan rezim Zionis dalam meneror Haytham Ali Al-Tabatabai, komandan senior Hizbullah, merupakan operasi pendahuluan untuk memulai kembali perang di front Lebanon.
(last modified 2025-11-25T09:54:57+00:00 )
Nov 25, 2025 15:18 Asia/Jakarta
  • Persiapan tentara Israel
    Persiapan tentara Israel

Pars Today - Harian Lebanon al-Akhbar pada hari Selasa (25/11/2025) dalam sebuah laporan analisis berupaya menjawab pertanyaan apakah tindakan rezim Zionis dalam meneror Haytham Ali Al-Tabatabai, komandan senior Hizbullah, merupakan operasi pendahuluan untuk memulai kembali perang di front Lebanon.

Menurut laporan IRNA, koran Al-Akhbar dalam laporannya menulis, "Sejak rezim Zionis berhasil meneror Haytham Ali Al-Tabatabai, komandan senior Hizbullah, dalam serangan di jantung kawasan Dahiyeh, Beirut Selatan, dua pertanyaan utama muncul di kancah politik Lebanon.

Apakah pembunuhan ini merupakan langkah awal untuk kembali ke perang di front Lebanon?

Dan apakah Hizbullah akan merespons? Jika iya, bagaimana respons itu akan dilakukan?

Meskipun eskalasi ini tidak mengejutkan karena adanya pemberitaan dan pernyataan pejabat Israel sebelumnya, serta kunjungan sejumlah duta besar internasional dan Arab ke Lebanon dalam beberapa pekan terakhir, perkembangan terbaru ini menimbulkan interpretasi penting. Sebagian analis menafsirkannya sebagai “operasi pendahuluan untuk perang”.

Terkait alasan munculnya interpretasi itu, sejumlah sumber politik senior merujuk pada eskalasi yang dilakukan rezim Zionis Israel tahun lalu. Mereka menyebut bahwa sebelum memasuki perang dahsyat selama dua bulan terhadap Lebanon, Israel menargetkan dan membunuh Syahid Fuad Shukr, komandan senior Hizbullah, lalu melakukan serangkaian operasi keamanan, militer, dan teror, yang mencapai puncaknya dengan teror Syahid Sayid Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah saat itu, serta Sayid Hashem Safieddine, wakilnya.

Sumber-sumber ini menambahkan bahwa pada waktu itu Israel mengklaim tidak berniat memulai perang, dan bahwa jika perlawanan tidak membalas, Israel akan menghentikan operasinya. Namun, kemudian terbukti bahwa sikap itu hanyalah tipu daya, dan upaya Amerika Serikat juga ternyata merupakan selubung untuk memberi Israel waktu mempersiapkan perang. Alih-alih mengumumkan kesepakatan gencatan senjata dari New York, Israel justru mengumumkan teror Sayid Hassan Nasrallah.

Menurut salah satu sumber politik, “kali ini juga, penyampaian pesan bahwa Israel akan berhenti pada teror satu tokoh dan tidak tertarik pada eskalasi lebih lanjut, hanyalah tipu daya yang berulang. Dapat dikatakan bahwa kita pada dasarnya telah kembali memasuki jalur menuju perang.”

Sementara semua sekutu politik Amerika Serikat dan Israel di Lebanon terus mengulangi wacana “perlu menyerahkan senjata agar Lebanon selamat dari eskalasi Israel”, dan media Saudi maupun Barat menyebarkan narasi bahwa Hizbullah tidak berniat membalas teror Haytham Ali Al-Tabatabai, Sheikh Ali Dammoush, Ketua Dewan Eksekutif Hizbullah menyampaikan posisi tegas gerakan tersebut.

Dalam acara pemakaman sang komandan dan para syahid lainnya, ia menyatakan, “Orang-orang Israel khawatir terhadap kemungkinan respons Hizbullah atas teror Al-Tabatabai. Biarlah mereka tetap khawatir, karena mereka telah melakukan kejahatan besar terhadap perlawanan dan terhadap Lebanon.”

“Selama musuh tidak berkomitmen pada gencatan senjata, kami tidak akan memedulikan proposal apa pun,” imbuhnya.

Sheikh Dammoush menegaskan bahwa semua konsesi yang diberikan pemerintah Lebanon sejauh ini tidak menghasilkan apa pun, dan bahwa tugas pemerintah adalah melindungi rakyat serta kedaulatannya, menyusun rencana, dan menolak tekanan maupun dikte dari pihak asing.

Rezim Zionis memulai agresinya ke Lebanon pada 1 Oktober 2024, dan setelah dua bulan, akhirnya menandatangani gencatan senjata melalui mediasi Amerika Serikat. Namun rezim tersebut terus-menerus melanggar gencatan senjata.

Menurut kesepakatan gencatan senjata, tentara Israel harus meninggalkan Lebanon selatan dalam waktu 60 hari. Namun rezim Zionis melanggar hukum internasional dengan mempertahankan pasukannya di lima posisi strategis dan tidak menarik diri.

Pada Minggu, 23 November 2025, Israel melancarkan serangan udara terhadap sebuah apartemen di Jalan al-Arid di kawasan Dahiyeh, Beirut Selatan, yang menyebabkan kerusakan besar dan menggugurkan Haytham Ali Al-Tabtabai, komandan senior perlawanan Islam Lebanon.

Joseph Aoun, Presiden Lebanon, menanggapi bahwa serangan Israel ke Dahiyeh pada hari yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Lebanon merupakan bukti baru atas ketidakpedulian Israel terhadap permintaan berulang untuk menghentikan agresi, serta penolakannya untuk mematuhi resolusi-resolusi internasional dan semua upaya serta inisiatif yang bertujuan mencegah eskalasi dan memulihkan stabilitas, tidak hanya di Lebanon tetapi juga di seluruh kawasan.(sl)