Mengapa AS terus Jegal Gencatan Senjata di Jalur Gaza
Amerika Serikat dengan kedok kemanusiaan berusaha mengurangi tekanan opini pulbik karena keterlibatan langsungnya di perang genosida Israel terhadap rakyat Palestina, dan untuk ketiga kalinya demi mendukung kejahatan Tel Aviv, AS memveto draf resolusi penerapan gencatan segera di Gaza.
Rancangan resolusi untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza, yang diajukan oleh Aljazair atas nama kelompok perwakilan negara-negara Arab di PBB, kepada Dewan Keamanan PBB, dalam pertemuan dewan ini pada hari Selasa, meski memiliki 13 suara positif dari anggota dewan ini, pada akhirnya diveto oleh Amerika Serikat. Inggris, sebagai salah satu pendukung genosida rezim Zionis di Gaza, juga abstain.
Sejak dimulainya babak baru genosida yang dilakukan rezim Zionis di Jalur Gaza pada 7 Oktober lalu, ini merupakan kali ketiga resolusi yang diajukan masyarakat internasional untuk menerapkan gencatan senjata di Gaza dan menghentikan pembunuhan terhadap rakyat Palestina oleh rezim Zionis diveto Amerika Serikat. Setiap resolusi memerlukan 9 suara tanpa oposisi atau veto dari lima anggota tetap dewan ini (Amerika, Inggris, Rusia, Cina dan Prancis) untuk disetujui di Dewan Keamanan.
Linda Thomas Greenfield, duta besar dan perwakilan tetap Amerika Serikat untuk PBB, mengklaim bahwa resolusi yang diajukan Aljazair mengganggu upaya mencapai kesepakatan pembebasan tahanan dari kedua belah pihak. Di sisi lain, Riyad Mansour, perwakilan Palestina di PBB, mengecam veto rancangan resolusi gencatan senjata di Gaza oleh Amerika Serikat, dan menggambarkannya sebagai tindakan berbahaya dan menjadi penyebab meningkatnya pembunuhan warga Palestina.
Amerika Serikat telah memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan untuk segera melakukan gencatan senjata di Gaza, sementara jumlah syuhada Palestina sejak dimulainya invasi rezim Zionis ke Gaza pada tanggal 7 Oktober telah mencapai lebih dari 29.000 orang dan jumlah korban luka telah mencapai sekitar 70.000 orang.
Rancangan resolusi yang diusulkan Aljazair untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza diveto oleh Amerika Serikat ketika rezim Zionis bersiap menyerang kota perbatasan Rafah, tempat ratusan ribu warga Palestina berkumpul di selatan Gaza. Keputusan otoritas rezim Israel ini merupakan ancaman serius terhadap wilayah padat penduduk di mana 1,4 juta orang terpaksa pindah ke wilayah tersebut karena serangan Zionis di Gaza dan mungkin mempunyai konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.
Klaim Amerika yang membenarkan hak veto resolusi gencatan senjata dan keterkaitannya dengan terganggunya proses pertukaran puluhan tahanan Israel dengan ratusan tahanan Palestina digulirkan ketika sejak awal serangan rezim Zionis di Gaza, 100.000 warga Gaza telah terbunuh atau terluka, dan ratusan tentara Zionis telah terbunuh atau terluka.
Oleh karena itu, klaim Amerika dan Israel mengenai upaya pertukaran tahanan tidak dapat dipercaya, dan akar penyebab meningkatnya serangan Israel serta dukungan Amerika terhadap hal tersebut harus dicari dalam isu-isu lain. Sebenarnya, dengan memveto resolusi gencatan senjata di Gaza, sambil membuka tangan rezim Zionis untuk melanjutkan serangan ke Gaza, Amerika sedang berusaha menghancurkan infrastrukturnya secara total dan kemudian mencoba menyediakan lahan bagi migrasi paksa penduduk wilayah ini.
Hal ini terjadi ketika para pejabat senior rezim Zionis telah berulang kali menyatakan minat mereka terhadap migrasi pengungsi yang tinggal di Gaza ke Yordania dan Mesir dengan imbalan bantuan keuangan. Meskipun posisi-posisi ini mendapat tentangan keras dari Palestina dan negara-negara di kawasan, konspirasi musuh Zionis dan pendukungnya, terutama Amerika Serikat dan Inggris, tidak boleh dianggap remeh, sama seperti dengan migrasi paksa warga Palestina ke Yordania setelah perang Arab-Israel di masa lalu yang berujung pada tempat tinggal permanen orang-orang Palestina di Yordania.
Oleh karena itu, dampak dari tidak dikeluarkannya resolusi untuk segera menghentikan perang di Gaza ditujukan kepada Amerika Serikat, dan jika setelah itu terjadi kejadian yang tidak diinginkan di Gaza, khususnya kota perbatasan Rafah, maka pemerintahan Biden akan bertanggung jawab secara langsung atas hal tersebut. (MF)