21 Poin Prakarsa Trump: Pukat Harimau yang Menjerat Masa Depan Gaza
https://parstoday.ir/id/news/world-i177562-21_poin_prakarsa_trump_pukat_harimau_yang_menjerat_masa_depan_gaza
Pukat harimau perdamaian Trump bukan sekadar menjaring Gaza, tapi menjerat masa depan Palestina demi keamanan Israel.
(last modified 2025-09-30T09:16:13+00:00 )
Sep 30, 2025 10:50 Asia/Jakarta
  • 21 Poin Prakarsa Trump: Pukat Harimau yang Menjerat Masa Depan Gaza

Pukat harimau perdamaian Trump bukan sekadar menjaring Gaza, tapi menjerat masa depan Palestina demi keamanan Israel.

Oleh: Purkon Hidayat

Trump datang dengan jaring besar bernama prakarsa 21 poin perdamaian Gaza. Di atas kertas, ia tampak lengkap menyodorkan gencatan senjata, pertukaran sandera, bantuan kemanusiaan, hingga janji samar kenegaraan Palestina. Namun, sebagaimana pukat harimau, jaring itu memang menyapu luas, tetapi sekaligus menghancurkan ekosistem.

Bagi Gaza, 21 poin Trump lebih mirip perangkap ketimbang penyelamatan: Hamas disingkirkan, pemerintahan lokal diganti teknokrat yang diawasi luar, pasukan internasional dipimpin Amerika masuk, dan janji negara Palestina dibiarkan mengambang tanpa jadwal. Semua ditangkap, tapi masa depan yang dijanjikan justru bisa hilang.

Gaza sebagai “Zona Bebas Radikalisme”

Poin pertama langsung membuka tabir: Gaza ditetapkan sebagai “zona bebas radikalisme.” Frasa ini sederhana, tapi sarat makna. Gaza tidak dibaca sebagai wilayah yang berhak menentukan nasibnya, melainkan sebagai potensi ancaman bagi Israel dan kawasan. Dengan framing ini, seluruh 21 poin berjalan dari premis bahwa keamanan Israel adalah fondasi utama, sementara hak rakyat Palestina ditempatkan sebagai catatan pinggiran.

Inilah wajah lama politik Amerika: keamanan Israel adalah harga mati, sementara Palestina hanya diberi ruang sepanjang tidak mengganggu kepentingan itu.

Pertukaran Sandera yang Tidak Setara

Trump mengusulkan pengembalian sandera Israel dalam waktu 48 jam setelah rencana diterima. Sebagai gantinya, Israel akan membebaskan tahanan Palestina, termasuk yang ditahan seumur hidup. Sekilas ini tampak seimbang. Namun, perlu diingat: ribuan tahanan Palestina ditahan dengan prosedur administratif yang kerap tanpa pengadilan adil.

Jadi, pertukaran ini tidak benar-benar setara. Israel mendapatkan kembali warganya dengan segera, sementara Palestina menerima tahanan yang sejak awal tak semestinya dipenjara.

Hamas Didepak, Demokrasi Dipangkas

Poin 6 dan 13 jelas menyasar Hamas. Anggota Hamas hanya boleh bertahan jika berjanji hidup damai, sementara struktur politik dan militernya dibongkar habis. Pemerintahan Gaza pasca-perang akan diisi oleh teknokrat Palestina yang diawasi komite internasional dipimpin Amerika.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin rakyat Gaza yang pada 2006 memilih Hamas sebagai pemenang pemilu kini dipaksa menerima pemerintahan tanpa representasi politik mereka? Jika demokrasi hanya sah selama hasilnya sesuai selera Washington dan Tel Aviv, bukankah ini bentuk lain penjajahan politik?

Bantuan Kemanusiaan yang Dikelola Orang Lain

Trump berjanji bantuan kemanusiaan mengalir minimal 600 truk per hari. Angka besar ini tentu penting. Tetapi distribusinya akan dikendalikan penuh lembaga internasional, bukan oleh masyarakat Gaza sendiri. Gaza dengan demikian bukan dipulihkan kedaulatannya, melainkan dijadikan protektorat kemanusiaan.

Makanan, obat-obatan, dan pembangunan kembali disalurkan—tapi kendali tetap di tangan pihak luar. Palestina hanya jadi penerima, bukan subjek yang menentukan.

Pasukan Stabilisasi: Pendudukan dengan Wajah Baru

Poin 15 menyebut pembentukan pasukan stabilisasi internasional yang segera dikerahkan, dipimpin Amerika dengan dukungan mitra Arab. Pasukan ini bertugas menjaga keamanan, sementara Israel menarik diri secara bertahap.

Di permukaan, ini memberi kesan transisi damai. Namun rakyat Gaza kemungkinan melihatnya sebagai pendudukan dengan wajah baru. Pasukan asing, apalagi di bawah komando Washington, sulit dipercaya sebagai netral. Resistensi lokal hampir pasti muncul, sebab Gaza berulang kali menolak kontrol eksternal.

Janji “Tidak Menganeksasi” yang Kosong

Trump menegaskan Israel tidak akan menganeksasi Gaza. Tapi janji ini sesungguhnya tidak memberi nilai tambah. Sejak 2005, Israel selalu mengklaim tidak ingin menganeksasi Gaza secara resmi. Namun Israel tetap mengendalikan perbatasan, udara, dan laut, yang dalam hukum internasional berarti pendudukan de facto.

Janji ini ibarat menjual udara: terdengar manis, tapi kosong.

Negara Palestina: Fatamorgana Politik

Bagian paling menggoda ada di poin 20: jalan menuju kenegaraan Palestina. Namun kalimat lanjutannya mengosongkan janji itu. Negara Palestina baru bisa dipertimbangkan setelah rekonstruksi Gaza tuntas dan Otoritas Palestina selesai “reformasi”—tanpa jadwal jelas, tanpa indikator konkret.

Dengan kata lain, kenegaraan Palestina kembali ditunda ke masa depan tak menentu. Sama seperti janji-janji sebelumnya, ia lebih mirip fatamorgana politik: selalu terlihat di ujung jalan, tapi tak pernah benar-benar tercapai.

Diplomasi Regional di Orbit Washington

Salah satu masalah yang menarik pada prakarsa Trump 21 poin ini mengenai kendali diplomasi di poros Washington. AS membuat koalisi yang melibatkan negara lain, tapi hanya ortbitnya saja untuk mengendalikan Gaza. Meskipun diajak terlibat tapi Trump melakukan dengan gayanya sendiri. Satu hal menarik sebelumnya, Trump meminta Israel menahan diri dari serangan ke Qatar, sambil mengakui peran Doha sebagai mediator. Ini sinyal bahwa Amerika butuh legitimasi dari mediator regional untuk melancarkan rencananya.

Deradikalisasi ala Amerika

Program deradikalisasi terdapat pada poin 19 yang terdengar mulia. Tapi jika konteks dasarnya adalah memaksa rakyat Gaza menyesuaikan diri dengan standar luar, program ini lebih dekat pada rekayasa budaya ketimbang rekonsiliasi sejati. Tanpa keadilan—penghentian blokade, pengakuan hak tanah, dan kebebasan bergerak—deradikalisasi hanyalah kosmetik belaka.

Apa yang Sebenarnya Ditawarkan?

Jika diringkas, 21 poin Trump menawarkan tiga usulan antara lain:
- Gaza dibangun kembali, tapi dikendalikan pihak luar.
- Hamas disingkirkan, rakyat Gaza kehilangan representasi politik utama.
- Israel mendapat keamanan dengan peran kuat AS sebagai mediator sekaligus pendukung utamanya, sementara Palestina dijanjikan negara merdeka di masa depan yang tak jelas kapannya.

Rencana ini bukanlah peta jalan menuju keadilan, melainkan arsitektur pengendalian baru: Gaza tetap dalam genggaman, hanya saja dengan wajah lebih manusiawi.

Perdamaian yang Dipaksakan

Tampaknya, Trump ingin dikenang sebagai pembawa damai, tetapi usulannya lebih mirip “perdamaian yang dipaksakan.” Ia memberi Palestina hak untuk hidup, tapi menunda hak untuk merdeka. Ia menawarkan roti, tapi merampas suaranya.

Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahwa perdamaian sejati tidak lahir dari janji manis yang berbisa, melainkan dari pengakuan penuh atas martabat dan kedaulatan. Selama hal itu ditunda, Gaza akan tetap menjadi luka dunia yang tak kunjung sembuh.(PH)