Amerika Tinjauan Dari Dalam, 2 Februari 2020
Dinamika Amerika Serikat selama beberapa hari terakhir diwarnai berbagai isu di antaranya Republikan di Senat menolak dihadirkannya para saksi dalam kasus pemakzulan Trump.
Selain itu ada warga AS khawatirkan peningkatan serangan terorisme, penerapan pembatasan bagi perjalanan warga 6 negara lain ke AS dan Keputusan DPR AS Membatasi Wewenang Perang Trump.
Senat Tolak Saksi Dihadirkan dalam Kasus Pemakzulan Trump
Setelah pengesahan pemakzulan Trump di DPR dan pengajuannya ke Senat, Partai Republik, yang memiliki mayoritas di DPR mulai melakukan aksi untuk menggagalkannya. Senat pada Jumat malam, 31 Januari, menolak permintaan saksi untuk hadir bersaksi pada sidang pemakzulan Trump. Rancangan ini ditolak dengan margin kecil 51 suara menolak dan 49 setuju. Dengan demikian, tidak akan ada saksi yang hadir untuk bersaksi di pengadilan pemakzulan Trump.
Kebutuhan untuk memanggil saksi, terutama mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, ke pengadilan pemakzulan Trump telah memanas sejak bagian dari bukunya yang diterbitkan oleh The New York Times mengungkapkan tekanan pada Ukraina untuk melakukan penyelidikan terhadap Hunter Biden, putra Joe Biden, calon saingan Trump, Joe Biden, telah disorot pada tahun 2020.
Demokrat ingin Bolton bersaksi dalam persidangan Senat Trump yang sedang berlangsung, tetapi Trump mengatakan pada konferensi pers pekan lalu bahwa Bolton tidak boleh bersaksi karena pernyataannya mungkin bertentangan dengan keamanan nasional AS. Bolton, yang tiba-tiba dipecat oleh Trump dan telah lama diblokir oleh Gedung Putih di halaman Twitter-nya, telah mengumumkan kesiapannya untuk menghadiri sidang kesaksian Senat. Tindakan terkoordinasi oleh para senator Republik, dengan pengecualian dua orang, tampaknya telah mencegah pemanggilan saksi di pengadilan pemakzulan Trump untuk mendukung presiden AS yang kontroversial itu.
Menurut Adam Schiff, pemimpin kelompok pemakzulan Demokrat, segala bentuk sikap menolak dari para senator akan kehadiran lebih banyak saksi dan bukti baru di persidangan pemakzulan akan mengarah pada warisan buruk dalam sejarah Amerika dan memiliki konsekuensi buruk yang lama dan merusak... Itu benar-benar akan menciptakan sejarah yang berbahaya dan abadi yang harus kita semua hadapi di masa depan.
Para senator Republik sangat menyadari bahwa menyampaikan kesaksian oleh saksi kunci, seperti mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, dapat membuat lebih sulit untuk terus mendukung Trump, sementara berdampak negatif pada kampanye presiden bulan November 2020. Pada saat yang sama, langkah Partai Republik ini merupakan indikasi yang jelas tentang mendahulukan kepentingan partai di atas kepentingan nasional.
Menurut kesaksian dan dokumen yang diungkapkan sejauh ini, menjadi sangat jelas bahwa Trump semata-mata untuk kepentingan politiknya dan dalam upaya untuk menggulingkan penantang Demokratnya Joe Biden dalam pemilihan presiden 2020 dan penyalahgunaan kekuasaan presiden. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, berada di bawah tekanan kuat untuk memenuhi tuntutannya.
Pada saat yang sama, sejak pemakzulan dimulai, Trump telah melakukan upaya serius untuk menghalangi penerapan keadilan. Ini adalah dua tuduhan yang diajukan Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat dalam resolusi pemakzulan terhadap Trump. Demokrat percaya tindakan yang diambil oleh presiden sampai saat ini telah secara serius melanggar Konstitusi AS. Pada saat yang sama, tindakan Republik terhadap saksi yang menyerukan pemakzulan Trump di Senat menciptakan tradisi buruk dalam sejarah politik Amerika.
Mulai sekarang, selama sidang pemakzulan seorang presiden, ketika ia sampai pada satu kesimpulan bahwa akan menguntungkan dirinya bila sidang pemakzulan dilakukan tanpa ada saksi, maka ia dapat merujuk pada sidang pemakzulan Donald Trump. Adalah mungkin untuk menilai bersalah atau tidaknya seorang terdakwa tanpa kehadiran seorang saksi atau bahkan pemeriksaan dokumen.
Pemimpin minoritas Demokrat di Senat Chuck Schumer, merujuk pada pemungutan suara Partai Republik, menyebutnya sebagai "bencana besar" dan mengatakan, "Amerika akan mengingat hari ketika Senat gagal bertindak, ketika Senat tidak melakukan kewajibannya, ketika Senat menjauhkan diri dari kebenaran dan menyertai pengadilan yang memalukan."
Namun, bahkan jika, seperti yang diperkirakan, Trump dapat menyingkirkan pemakzulan dengan suara penolakan dari Partai Republik di Senat, efek negatif dari bagaimana dan proses ini, khususnya mencegah saksi dipanggil ke Senat, akan menjadi titik lemah. Penantang Trump dari Partai Demokrat akan menggunakannya untuk menyerangnya selama debat kampanye dan pemilu.
Warga AS Khawatirkan Peningkatan Serangan Terorisme
Setengah dari warga Amerika menilai tindakan membunuh Komandan Pasukan Quds Iran, Letnan Jenderal Qasem Soleimani, telah meningkatkan risiko serangan terorisme.
Ddalam jajak pendapat yang dilakukan oleh surat kabar The Washington Post dan televisi ABC News, hampir setengah dari responden percaya bahwa tindakan AS meneror Letjen Soleimani telah meningkatkan risiko perang.
48 persen responden mengatakan tindakan Trump terhadap Iran telah meningkatkan risiko terorisme terhadap warga Amerika, sementara hanya 14 persen berpendapat bahwa tindakan itu telah mengurangi risiko serangan terorisme.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia mengecam penilaian Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo tentang operasi militer Rusia di Provinsi Idlib, Suriah dan menyebutnya sebagai sikap munafik.
Seperti dilaporkan Sputniknews, Pompeo pada Selasa lalu menyebut operasi menumpas teroris di Idlib, melanggar gencatan senjata dan merupakan serangan besar-besaran terhadap "warga tak berdosa."
Pejabat Kemenhan Rusia, Igor Konashenkov pada hari Rabu (29/1/2020) mengatakan, "Pada pagi hari tanggal 29 Januari, pasukan pemerintah Suriah di dekat zona de-eskalasi konflik Idlib, telah menghancurkan atau merampas delapan tank "tidak berdosa", lebih dari 15 kendaraan tempur infanteri "tidak berdosa", 49 gerbong yang berisi senjata kaliber besar "tidak berdosa", dan delapan kendaraan tempur teroris "tidak berdosa."
Konashenkov juga menyesalkan fakta bahwa Departemen Luar Negeri AS tidak pernah mendukung perjuangan aktif Rusia melawan terorisme internasional.
"Departemen Luar Negeri AS menyuarakan keprihatinannya tentang penderitaan warga sipil hanya ketika teroris mengalami kekalahan telak, dan warga Suriah dibebaskan," ungkap Konashenkov.
6 Negara Masuk Daftar Larangan Mengunjungi AS
Amerika Serikat masih melanjutkan kebijakan anti imigrannya dan Jumat (31/01) menerapkan pembatasan kunjungan bagi enam warga negara lain ke Washington.
Nigeria, Myanmar, Eritrea, Kyrgyzstan, Sudan dan Tanzania, enam negara yang dibatasi kunjungan warganya ke Washington oleh Amerika Serikat.
Menurut laporan media Amerika, Presiden Donald Trump beberapa jam lagi dijadwalkan menandatangani pembatasan ini dan menjadikannya sebagai sebuah undang-undang.
Laman The Hill melaporkan, pembatasan ini akan diberlakukan mulai 22 Februari 2020.
Pembatasan ini diterapkan ketika pemerintah Donald Trump sebelumnya melarang kunjungan warga tujuh negara, Iran, Libya, Suriah, Somalia, Korea Utara, Venezuela dan Yaman ke Amerika Serikat.
Instruksi anti imigran Trump menuai kecaman luas di tingkat dunia. Berbagai negara dunia menyebut keputusan presiden Amerika diskriminatif dan melanggar hukum internasional.
Sementara itu, Ketua DPR Amerika Serikat menilai larangan kunjungan warga negara lain ke Amerika serikat sebuah langkah diskriminatif tersembunyi pemerintah Donald Trump.
Nancy Pelosi saat merespon penambahan enam negara lain di rencana baru pencekalan warga negara lain ke Amerika, di pesan Twitternya menulis, "Maraknya kebijakan pencekalan warga non Amerika berkunjung ke negara ini oleh pemerintah Trump sebuah ancaman bagi keamanan, nilai-nilai dan supremasi hukum."
"Undang-undang ini dengan melarang kunjungan lebih dari 350 juta orang ke Amerika yang mayoritasnya warga Afrika, tercatat sebagai sebuah kebijakan diskriminatif tersembunyi," papar Pelosi.
Keputusan DPR AS Membatasi Wewenang Perang Trump
DPR Amerika Serikat pada hari Kamis (30/1/2020), meloloskan dua resolusi untuk membatasi wewenang perang Presiden Donald Trump, setelah ia menyulut perang dengan Iran dan meneror Komandan Pasukan Quds, Letnan Jenderal Qasem Soleimani di Irak.
Resolusi pertama yang disebut "No War Against Iran Act" akan memblokir pendanaan untuk penggunaan kekuatan militer terhadap Iran yang dilakukan tanpa otorisasi Kongres. Resolusi ini memperoleh 228 suara setuju dan 175 suara menolak.
Resolusi kedua yang diusulkan oleh anggota Partai Demokrat Barbara Lee, akan mencabut otorisasi Irak tahun 2002 atas penggunaan kekuatan militer, yang dipakai Trump sebagai dasar untuk meneror Letjen Soleimani di Baghdad. Resolusi ini didukung 238 suara dan ditolak oleh 166 suara.
Setelah undang-undang tersebut disahkan, Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan anggota Kongres memiliki keprihatinan serius dan mendesak tentang keputusan presiden untuk terlibat permusuhan dengan Iran dan tidak adanya strategi dalam menghadapi Iran.
Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengkritik upaya DPR untuk meloloskan resolusi yang akan membatasi wewenangnya dalam mendeklarasikan perang. Trump dalam sebuah tweet, Rabu (29/1/2020) malam menulis, "Dengan pemungutan suara di DPR besok, Demokrat ingin mempersulit presiden untuk membela Amerika dan berdiri di hadapan negara-negara seperti Iran."
Dia menuding Nancy Pelosi, ingin merampas wewenang yang digunakan presiden untuk membela negara lain dan membela Amerika. "Dukunglah Panglima Tertinggi Anda!," cuit Trump.