Kerjasama Teknis dan Militer Rusia-Iran
Rusia sebagai salah satu anggota penting kelompok 4+1, meski ada penentangan keras Amerika Serikat, senantiasa menekankan pentingnya pelaksanaan isu resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB termasuk pencabutan sanksi senjata Iran.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov Selasa (29/12/2020) menekankan perluasan kerjasama teknis dan militer Iran dan Rusia serta mengatakan, “Tidak ada pembatasan dari Dewan Keamanan PBB untuk kerjasama di bidang teknis dan militer dengan Republik Islam Iran serta kedua negara secara penuh berhak menggalang kerjasama di bidang ini.”
Kepala diplomasi Rusia ini menambahkan, “Di kerjasama teknis dan militer dengan Republik Islam Iran yang tak diragukan lagi merupakan hak untuk menjamin kemampuan pertahanannya, Rusia sepenuhnya patuh dengan komitmen internasionalnya dan mengikuti prioritasnya menjaga stabilitas dan keamanan kawasan.”
Isu Rusia di bidang kerjasama militer dengan Iran memiliki nilai penting di dua sisi. Pertama, Rusia sebagai salah satu kekuatan internasional menjadi rival Amerika dan senantiasa memprotes kebijakan unilateralisme Washington yang diambil sekedar memenuhi kepentingan dan tujuan pribadi negara ini. Salah satu manifestasi masalah ini adalah sikap arogan dan irasional pemerintah Trump terkait pentingnya melanjutkan sanksi senjata terhadap Iran.
Untuk merealisasikan tuntutannya ini, Washington melancarkan perang psikologis dan syaraf luas sejak pertengahan tahun 2019. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo berulang kali mengklaim bahwa pencabutan sanksi senjata Iran akan memicu perlombaan senjata di kawasan, memperkuat kekuatan regional Iran dan sekutunya serta mengancam keamanan rezim Zionis Israel.
Pemerintah Trump juga menfokuskan upayanya untuk membujuk anggota Dewan Keamanan PBB guna merealisasikan keinginan Washington ini serta mengajukan draf resolusi kepada Dewan Keamanan dan menuntut dilanjutkannya sanksi senjata terhadap Tehran. Meski demikian 13 dari 15 anggota Dewan menentang draf tersebut.
Pemerintah Trump setelah gagal mensukseskan ambisinya ini, dengan klaim masih menjadi anggota JCPOA dan dengan dalih pelanggaran terhadap kesepakatan ini oleh Iran, telah memulihkan saksi internasional terhadap Tehran. Namun Dewan Keamanan pada akhirnya menentang upaya ini. Namun demikian, pemerintah Trump secara sepihak mengklaim bahwa sanksi akan memberlakukan sanksi mulai 20 September 2020, klaim yang mendapat pengabaian dari dunia internasional.
Isu kedua adalah pada dasarnya tidak ada negara ketiga yang berhak dan layak mengintervensi hubungan bilateral negara berdaulat. Dengan demikian Rusia dan Iran dalam koridor kepentingan dan tujuannya, berhak memiliki hubungan militer dan senjata.
Menurut Igor Korotchenko, pengamat militer Rusia, “Berdasarkan hukum internasional, tidak ada larangan terkait kerjasama persenjataan dengan Iran, dan Rusia menekankan masalah penting ini.”
Washington mengklaim bahwa Rusia berencana menjual senjata kepada Iran setelah berakhirnya sanksi. Klaim ini sejatinya ditujukan untuk menunjukkan ketergantungan Tehran terhadap impor senjata. Padahal Iran selama 40 tahun lalu, karena menghadapi beragam sanksi senjata, telah memikirkan swasembada senjata dan mampu memiliki prestasi besar di bidang ini serta membuat beragam senjata. (MF)