Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (22)
Salah satu prestasi luar biasa yang ditorehkan Revolusi Islam adalah tegaknya sistem demokrasi di Iran. Prinsip demokrasi itu sendiri dapat dikaji dari dua dimensi berikut; pertama perspektif teoritis beserta definisi-definisinya dan kedua dimensi sosiologis dan perhatian terhadap sejarah munculnya demokrasi.
Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan Republik Islam dibangun atas dua prinsip republikanisme dan Islamisme. Bentuk pemerintahan, struktur politik, dan penataan lembaga-lembaga negara adalah republik, tetapi nilai-nilai yang dianut adalah Islami. Kata republik menegaskan tentang pengakuan hak-hak untuk warga negara, sementara kata Islami berhubungan dengan penerapan syariat Islam, dan terobosan besar Revolusi Islam adalah mengawinkan republik dengan Islam.
Konstitusi Iran merupakan manifestasi dari pandangan demokratis Islam terhadap partisipasi masyarakat dalam isu-isu sosial dan ini termasuk salah satu bukti nyata dari sistem demokrasi. Pasal-pasal dalam konstitusi termasuk pasal 4 berbicara tentang pemerintahan Republik Islam.
Demokrasi religius adalah bagian dari esensi dan intisari pemikiran politik Islam, di mana Konstitusi Iran menaruh perhatian khusus pada isu ini. Prinsip pertama demokrasi religius adalah penegakan syariat Islam. Agama dan ajaran Islam harus menjadi landasan pemikiran dan perilaku sosial.
Tentu saja, jika Islam mungkin tidak memiliki pandangan khusus tentang kasus tertentu, di sini pandangan kolektif dan pandangan para ulama akan menjadi acuan. Pemimpin agama kemudian menyatukan pandangan tersebut dan membuat sebuah keputusan. Oleh karena itu, ajaran agama membantu masyarakat untuk menemukan dan memahami prinsip-prinsip dan kemudian menjadikanya sebagai landasan perilakunya.
Prinsip kedua demokrasi religius adalah penekanan pada peran dan partisipasi masyarakat – berdasarkan prinsip dan ajaran agama – di semua urusan yaitu: memilih presiden dan para wakilnya untuk duduk di parlemen, masyarakat juga memilih Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran (Rahbar) melalui para wakilnya di Dewan Ahli Kepemimpinan. Di sini, masyarakat memiliki peran penuh untuk memilih orang-orang yang akan duduk di lembaga tinggi negara.
Mengenai peran prinsipil masyarakat dalam sistem demokrasi religius, Pasal 6 Konstitusi menyatakan, "Di Republik Islam Iran, urusan negara harus dikelola dengan bersandar pada suara rakyat dan melalui pemilihan. Ini akan termasuk pemilihan presiden, anggota Majelis Permusyawaratan Islam (parlemen), para anggota dewan, dan lembaga-lembaga lain, atau melalui referendum dalam kasus-kasus seperti yang telah ditetapkan pada pasal-pasal lain konstitusi."
Dalam demokrasi religius, partisipasi dalam pemilu dianggap sebagai sebuah tanggung jawab sipil dan kewajiban agama, sehingga hasil pemilu menjadi manifestasi dari tekad rakyat dalam mengelola negara.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, kekuatan Republik Islam sejak kemenangan Revolusi Islam hingga sekarang didasarkan pada kehadiran, partisipasi, dan dukungan rakyat. Pemilu merupakan manifestasi dari demokrasi religius di Iran.
Dan prinsip ketiga demokrasi religius adalah memprioritaskan kepuasan rakyat. Negara harus secara tulus menangani urusan masyarakat dan menampilkan sistem pengabdian yang tulus dalam melayani publik. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei menganggap pemberian pelayanan sebagai sebuah prinsip dari demokrasi religius.
"Dalam demokrasi religius, menangani urusan masyarakat, menjamin kesejahteraan dan kenyamanan serta menyelesaikan masalah mereka… adalah sebuah prinsip penting," ujarnya.
Sistem politik berkewajiban untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan sah masyarakat. Bekerja untuk Allah Swt dan mengabdi kepada masyarakat harus menjadi teladan perilakunya. Begitu pentingnya mengabdi kepada masyarakat sehingga Ayatullah Khamenei menganggap hal itu sebagai ibadah dan meyakini bahwa pemerintah harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memberikan pelayanan.
"Hari ini, demokrasi religius adalah sistem terbaik yang dapat dimanfaatkan oleh pejabat pemerintah untuk memperbaiki perilaku mereka. Ada dua aspek demokrasi; pertama pemerintah harus dibentuk atas dasar kehendak dan suara rakyat, dan kedua setelah terpilih menjadi pemimpin, orang-orang seperti Anda (para pejabat) dan saya memiliki tanggung jawab yang berat di hadapan publik," jelasnya.
Sistem demokrasi religius harus memberikan pelayanan yang tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun. Ia adalah sebuah sistem untuk menyediakan layanan dari rasa tanggung jawab yang disertai dengan ketulusan dan kebajikan.
Dalam sistem demokrasi religius, para pejabat memiliki tugas-tugas yang berat di hadapan masyarakat. "Melakukan kampanye untuk meraih suara rakyat dan kemudian melupakan mereka serta tidak mempedulikan rakyat adalah bertentangan dengan demokrasi religius. Meraih suara rakyat adalah fase pertama dan harus diikuti oleh fase kedua yaitu: memenuhi tanggung jawab," ungkap Ayatullah Khamenei.
Demokrasi dari sudut pandang Islam adalah sebuah sistem yang bersandar pada suara rakyat dan pemenuhan janji-janji yang sudah diberikan kepada publik. Pemenuhan janji tentu saja akan mengundang kepuasan masyarakat dan mendatangkan keridhaan Tuhan. Gabungan dari dua keridhaan ini (Khalik dan makhluk) merupakan esensi khusus pembentuk demokrasi religius. Dengan begitu, nilai-nilai Islami akan menemukan maknanya dalam demokrasi religius.
Model demokrasi ini tidak pernah tampil bertentangan dengan agama, nilai-nilai, dan prinsip-prinsipnya. Di sini, para pejabat dan masyarakat harus menjaga nilai-nilai agama. Ayatullah Khamenei mengatakan, "Para pejabat – atas nama Islam, untuk Islam, dan dengan pesan Islam – harus mengambil sikap, berbicara, dan juga bertindak secara berani, tegas, dan tanpa pandang bulu."
Menurutnya, klaim membela rakyat bisa ditemukan di semua sistem bahkan sistem despotisme, tetapi harus diperjelas dimana letak peran, hak, dan kedudukan rakyat.
"Imam Khomeini ra meyakini orisinalitas unsur 'rakyat' dalam sistem Islami dan memberi perhatian hakiki kepada mereka di beberapa bidang. Pertama, penekanan sistem pada suara rakyat dan ini akan menjadi salah satu ranah yang membuat rakyat bisa berperan. Dalam konstitusi kita, sistem tidak memiliki makna jika tanpa dukungan, suara, dan kehendak rakyat. Orang yang memerintah harus datang dari suara rakyat, sistem harus bergerak dengan bersandar pada kehendak rakyat," papar Ayatullah Khamenei.
"Pemilihan presiden, pemilihan para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan, pemilu parlemen, dan pemilu lainnya adalah manifestasi dari suara dan kehendak rakyat. Sebenarnya, pemilu dan partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden, anggota parlemen, dan pemilu-pemilu lain merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban mereka," jelasnya.
Dalam sistem demokrasi religius, kecenderungan terhadap Islam tidak dapat dipisahkan dari kepedulian terhadap publik. Kepedulian ini berakar dari ajaran Islam. Dalam konteks ini, tidak mungkin berbicara tentang pemerintahan Islam sambil mengabaikan publik.
Pada dasarnya, inti dari demokrasi religius adalah bahwa pemerintah dijalankan sesuai dengan pedoman Ilahi dan kehendak rakyat. (RM)