Nov 16, 2021 19:36 Asia/Jakarta
  • Pasukan AS di Afghanistan
    Pasukan AS di Afghanistan

Setelah perang dunia kedua, Amerika Serikat menggantikan posisi Inggris dan Prancis di kawasan Asia Barat. Tapi pertanyaannya adalah apa tujuan AS mengobarkan krisis dan kerusuhan di Asia Barat, dan mana tujuan politik, ekonomi, sosial dan militer AS di Asia Barat ?

Penyebab dan faktor perang dan ketidakamanan di kawasan harus dicari terutama dalam kebijakan dan strategi keamanan nasional Amerika.

Melihat perkembangan dan peristiwa setengah abad baru-baru ini menunjukkan dalam arus ini; Faktor-faktor seperti kecenderungan hegemonik dan niat tamak Amerika Serikat dan melanggar hukum telah memainkan peran dalam masalah perdamaian dan keamanan internasional, yang telah menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat krisis dan instabilitas.

Militer Amerika di Suriah

Intervensi militer Amerika Serikat sejak tahun 1997 memasuki fase efensif dan langkah preemtive ketika elit politik, ahli strategi dan pemimpin perang Amerika mengubah undang-undang strategis keamanan nasional untuk 25 tahun kedepan. Tentu saja hasil dari kebiijakan ini adalah maraknya instablitas dan krisis jangka panjang di kawasan.

Kebijakan intervensif Amerika di Asia Barat dilakukan dengan berbagai metode. Pengaruh ekonomi dengan bertumpu pada keunggulan militer, merupakan salah satu strategi utama Amerika untuk tujuan ini. Mengkaji faktor terbentuknya krisis regional dan perang yang dipaksakan kepada Afghanistan, Libya, Irak dan Suriah selama satu dekade terakhir melalui intervensi AS dan dukungan regional terhadap kelompok teroris, menunjukkan jejak Amerika di pengobaran krisis ini serta motivasi Washington menentang konvergensi keamanan antara negara-negara kawasan.

Salah satu indeks penting di ideologi politik Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei terkait keamanan adalah penekanan beliau untuk mengenal anasir pengganggu keamanan di kawasan.

Ayatullah Khamenei di berbagai pidatonya terkait hal ini menyebut upaya menyibukkan bangsa kawasan dengan urusannya sendiri termasuk tujuan utama Amerika. "Amerika ingin membuat kawasan tidak memperhatikan dirinya sendiri dan pemerintah serta bangsa kawasan sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak berpikir untuk melawan anasir keji arogan yakni Zionisme," papar Rahbar.

Beliau menyebut tujuan selanjutnya Amerika mengobarkan instabilitas adalah menjustifikasi kehadariannya di kawasan. Ayatullah Khamenei menambahkan, "Amerika faktor utama pemicu instabilitas di Afghanistan, dan melakukan pembunuhan dengan nama agama di kawasan ini sejak 20 tahun lalu baik itu secar langsung atau tidak, melaluai anasir Amerika. Dan kini Amerika ingin mengobarkan kekacauan untuk memajukan tujuan politik dan ekonominya."

Jelas Amerika ingin mengejar kepentingan besarnya di kawasan termasuk perdagangan senjata, dan dengan penjualan miliaran dolar senjata ke negara-negara Arab, Washington meraup keuntungan besar-besaran.

Colin S. Cavell, dosen ilmu politik Universitas Bluefield di bara Virginia mengatakan, Amerika Serikat dengan penjualan senjata miliaran dolar ke negara-negara kawasan Asia Barat dan utara Afrika, pastinya membuat marak instabilitas dan kekacauan di kawasan.

Laporan lembaga perdamaian Stockholm menunjukkan Amerika berada di puncak negara penjual senjata. Misalnya, Amerika selama tahun 2015 hingga 2019 menjual senjata kapada 96 negara dunia. Separuh dari senjata ini dijual ke negara-negara Asia Barat, di mana membuat kawasan ini menjadi gudang senjata terbesar.

Laman Global Research Februari 2015 di laporannya menulis bahwa Amerika sejak terbentuk dan merdeka (tahun 1776) menghabiskan 93 persen waktunya untuk perang, yakni sejak saat itu, 222 tahun dari 239 tahun umur Amerika dihabiskan di perang.

Rahbar Ayatullah Khamenei

Rahbar di pidatonya yang disiarkan televisi nasional tahun 2021 bertepatan dengan peringatan kebangkitan 19 Day 1356 Hs (9/1/1978) warga kota Qom, ketika menganalisa tujuan AS bersikeras melanjutkan pengobaran krisis di kawasan mengatakan, "Amerika Serikat selama belum menguasai kawasan, maka kepentingannya adalah menciptakan instabilitas di Iran, Irak, Suriah, Lebanon dan negara kawasan lainnya, di mana tujuan ini terkadang memanfaatkan insiden seperti fitnah 88 di Iran dan terkadang dengan pembentukan Daesh (ISIS)."

Faktanya Amerika Serikat terus berusaha mengobarkan instabilitas di Asia Barat sehingga dapat menjustifikasi dan memperkokoh kehadirannya, serta dapat menggerakkan negara-negara kawasan untuk membeli senjata lebih banyak dari Washington.

Para pejabat AS di kebijakannya ini berusaha untuk menyalahkan Iran dengan induksi dan tuduhan fiktif, sedangkan arah kebijakan mereka adalah untuk menciptakan ketegangan maksimum dengan cara yang melayani kepentingan AS.  

Bukti ini membenarkan klaim ini bahwa Amerika melalui pengobaran tensi dan ketegangan ingin memaksakan kehadirannya di kawasan. Ulah Amerika mengobarkan krisis di Afghanistan dan Irak dimaksudkan untuk menjustifikasi keberadaannya di kawasan. Pengobaran tensi di Teluk Persia juga dapat dianalisa untuk maksud ini, dan tujuannya adalah menunjukkan bahwa kawasan tidak aman demi membenarkan kehadiran pasukannya dan menjamin kepentingan Amerika.

Amerika di pengobaran krisis ini tidak memiliki batas. Peningkatan pelanggaran hak tertindas Palestina, pengobaran perang dan pembantaian rakyat Yaman, dan upaya normalisasi hubungan Israel dengan neagra-negara Arab kawasan adalah hasil dari mengiringi kebijakan ini.

Ali Eslamzadeh, pakar isu strategis Asia saat menganalisa faktor dan tujuan strategis intervensi Amerika di kawasan, menyebutkan satu contoh untuk mengisyaratkan poin ini bahwa Amerika berusaha merusak keamanan seluruh kawasan barat, timur dan utara Asia dengan mengobarkan instabilitas dan kerusuhan di Afghanistan, dan melalui cara ini Washington ingin menghambat kemajuan negara-negara kuat seperti Iran, Rusia dan Cina.

Tentara AS di Irak

Oleh karena itu tidak dapat dipercaya bahwa perubahan taktik Amerika berarti berakhirnya permusuhan dan tensi di kawasan.

Dengan kata lain, meski Amerika Serikat mengklaim ingin mengurangi kehadiran pasukannya di kawasan, tapi fakta tidak mendukung klaim seperti ini.

 

Tags