Ramadhan, Bulan Penuh Kesempatan (5)
Jika kita telah kehilangan kenikmatan beribadah selama periode ini, mungkin karena hak manusia. Memperhatikan hak-hak orang lain sangat penting dalam Islam, bahkan lebih penting daripada menaati hak-hak Allah.
Sudah lebih dari sepuluh hari dari bulan Ramadhan yang kita lalui. Selama itu pula kita tidak makan dan minum demi keridhaan Allah dan untuk menjalankan perintah-Nya. Kita membaca Alquran dalam kondisi berpuasa, memberi makan orang miskin dan meninggalkan hal-hal yang haram. Namun apakah kita merasakan kenikmatan beribadah?
Jika kita telah kehilangan kenikmatan beribadah selama periode ini, mungkin karena hak manusia. Memperhatikan hak-hak orang lain sangat penting dalam Islam, bahkan lebih penting daripada menaati hak-hak Allah.
Pada dasarnya, ada tiga jenis hak bagi setiap orang mukmin yang akan ditanya tentangnya. Pertama adalah hak jiwa, hak Allah dan hak manusia.
Hak jiwa adalah bahwa manusia tidak boleh menindas dirinya sendiri, tidak menyia-nyiakan hidupnya, dan harus menggunakan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya dengan benar. Jika seseorang kehilangan hak ini dan kemudian menyadari kesalahannya dan bertobat, tidak perlu ada yang ditebus dan hanya dengan bertaubat dapat mengampuni dosa-dosanya.
Shalat, puasa dan menjalankan kewajiban lainnya adalah hak Allah atas kita dan harus kita penuhi. Perintah Islam adalah bahwa jika seseorang menghilangkan hak Allah, setelah bertaubat dan kembali, ia harus menebusnya dan melakukan perbuatan yang tidak dilakukannya, tetapi dalam riwayat disebutkan bahwa jika setelah bertaubat, seseorang tidak mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan, Allah akan mengampuni dia dan tidak akan meminta pertanggungjawabannya.
Sementara hak manusia adalah hak yang dimiliki orang lain atas kita dan kita wajib menghormatinya. Dari hak finansial hingga melindungi kehidupan dan martabat orang lain, semua hak ini harus dihormati. Jika hak-hak ini hilang, mau atau tidak mau, tidak ada cara lain selain memberikan kompensasi kepada mereka. Bertaubat dan menyatakan penyesalan kepada Allah tidak cukup untuk mengampuni dosa ini, dan Allah tidak akan mengampuni dosa seperti itu kecuali pemilik hak telah memaafkannya sebelum-Nya.
Allah selalu mengutamakan hak hamba-Nya di atas hak-Nya sendiri. Misalnya ketika kita sedang melakukan shalat dan berdoa kepada Allah. Jika seseorang masuk dan memberi salam kepada kita, Allah memerintahkan kita untuk memutuskan komunikasi dengan-Nya dan menjawab salam dari hamba-Ku. Jika kamu sedang shalat dan datang seseorang meminta sesuatu dan dia memintanya darimu, batalkan shalat dan berikan kepadanya terlebih dahulu.
Kita tidak dapat mencapai hak Allah dan memenuhinya kecuali kita telah memenuhi hak hamba Allah sebelumnya. Sekitar seribu empat ratus tahun yang lalu, Imam Sajjad as dalam risalahnya tentang hak, menjelaskan hak untuk segala sesuatu dan setiap orang yang harus ditaati oleh orang-orang beriman. Tanpa memperhatikan hak-hak tersebut, kita tidak dapat mencapai puncak pengabdian kepada Tuhan, dan ini berarti kehilangan nikmat beribadah.
Nasihat ulama sebelum memasuki Ramadhan, menjelang awal bulan pengabdian dan ibadah, jika ada hak orang lain pada Anda, penuhi hak itu dan mintalah kehalalan. Karena jika tidak, Anda tidak akan mendapatkan kenikmatan beribadah dan penghambaan kepada Allah. Jika seseorang meminjamkan uang kepada kita, semua yang kita dapatkan dari berkah bulan suci akan dicatat sebagai amal perbuatannya, bukan dalam perbuatan kita ... Masih ada kesempatan sampai akhir Ramadhan. Tunaikan hak manusia dan catatlah nikmat Ramadhan dalam surat-surat amal perbuatanmu.
Kecintaan Imam Husein as
Tidak diragukan lagi, Nabi dan keluarganya adalah suri tauladan terbaik dan tertinggi bagi umat manusia. Mengetahui suasana hati mereka dan merenungkan cara hidup dan perilaku mereka, menggambarkan kehidupan yang transenden dan terarah bagi semua orang, mengikuti cara dan karakter mereka, terutama selama bulan suci Ramadhan dapat membimbing kita dalam mencapai kehidupan yang transenden.
Perilaku Imam Husein as didasarkan pada cinta kepada Allah. Kehadiran Imam itu adalah manifestasi cinta kepada Tuhan, dan dalam bayang-bayang cinta ini, dia mencintai orang lain dan mencoba untuk menciptakan cinta dan gairah ilahi ini di dalam diri mereka. Diriwayatkan bahwa Imam Husein as berpuasa bahkan ketika dia tidak diwajibkan untuk berpuasa. Dinyatakan dalam hadits bahwa seseorang bertanya kepada Imam Husein as, mengapa Allah mewajibkan puasa? Dia berkata, "Untuk orang kaya merasakan kelaparan dan membantu orang miskin lewat kekayaannya yang berlebihan."
Untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai manusia, Imam Husein as telah menjadikan kedermawanan sebagai caranya. Diriwayatkan bahwa seseorang dari orang Syam bernama 'Isham datang ke Madinah dan di kota itu, dia melihat seseorang yang berbeda dari yang lain. Dia bertanya siapa pria ini. Mereka berkata, Dia adalah Husein bin Ali as. Dipengaruhi oleh propaganda negatif Bani Umayyah, 'Isham mendekat dan mulai berkata buruk dengan marah. 'Isham mengeluarkan semua uneg-unegnya dan mengatakan apapun yang diinginkannya. Pada saat ini, Imam Husein, tanpa mengungkapkan kesedihan dan kemarahan, memandangnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, dan setelah membaca beberapa ayat tentang pengampunan, berkata kepadanya, Wahai pria, kami siap membantu Anda untuk layanan apa pun. Kemudian Imam Husein as bertanya kepadanya: Apakah kamu dari Syam?
'Isham menjawab, Ya. Imam berkata, Saya tahu akar dan penyebab Anda berlaku seperti ini. Namun sekarang Anda adalah orang asing di kota kami. Jika Anda memiliki kebutuhan, saya akan membantu Anda dan saya siap menerima Anda di rumah saya. Pria Suriah, yang tidak pernah mengira akan menghadapi sikap lapang dada seperti itu, menjadi berubah. Sehingga akhirnya ia berkata kepada dirinya sendiri, Pada saat itu, saya berharap bumi akan terbelah dan saya akan tenggelam ke tanah, tetapi itu tidak terjadi dan seandainya saya tidak sombong. Sampai saat itu, saya memiliki dendam yang kuat terhadap Husein dan ayahnya, tetapi perilaku lembut dan penuh kasih Husein ibn Ali membuat saya malu. Tidak ada yang lebih saya cintai sekarang selain dia dan ayahnya."
Hukum Memasukkan Kepala ke Dalam Air
Pada bagian sebelumnya, kita telah menyelesaikan tips makan dan minum. Di bagian hukum dari artikel ini, kami akan menjelaskan kasus-kasus lain yang membatalkan puasa. Dalam hukum Islam, berbohong membatalkan puasa. Salah satu hal terpenting yang dianggap membatalkan puasa dalam kitab-kitab fiqih adalah berbohong kepada Allah, para Nabi, dan Maksum, meskipun orang yang berpuasa itu kemudian bertobat dan menyatakan bahwa dia telah berdusta. Juga, jika orang yang berpuasa menulis kebohongan secara tertulis, bukan secara lisan, maka puasanya tetap batal.
Tidak ada salahnya mengutip riwayat-riwayat yang telah disebutkan dalam banyak kitab dan orang tidak yakin bahwa itu salah. Namun, tindakan pencegahan yang disarankan untuk mengutipnya dengan menghubungkannya dengan buku itu dan merujuk pada teks aslinya. Selain itu, jika orang yang berpuasa mengaitkan kebohongan dengan mujtahid dan perawi hadits, meskipun dia telah melakukan tindakan terlarang, puasanya tidak batal.
Hal lain yang membatalkan puasa adalah “merendam seluruh kepala dalam air”. Jika orang yang berpuasa dengan sengaja membenamkan seluruh kepalanya ke dalam air, puasanya batal berdasarkan ihtiyat wajib, meskipun tubuhnya berada di dalam air ketika ia membenamkan dirinya ke dalam air, atau di luar air. Jika dia mencelupkan separuh kepalanya ke dalam air kemudian mengeluarkannya dan mencelupkan separuh kepalanya lagi ke dalam air, maka puasanya tidak batal. Juga, jika seluruh kepala terendam air, tetapi sebagian rambut ditinggalkan, maka puasanya batal. Selain itu, menuangkan air ke kepala dengan wadah dan sejenisnya tidak mempermasalahkan puasa. Dengan begitu, tidak ada salahnya mencuci kepala di bawah keran atau pancuran.
Jika orang yang berpuasa meragukan apakah seluruh kepalanya terendam air atau tidak, maka puasanya sah. Pada saat yang sama, jika orang yang berpuasa jatuh ke dalam air tanpa disengaja dan seluruh kepalanya tenggelam dalam air, puasanya tidak batal, tetapi dia harus segera mengeluarkan kepalanya dari air. Juga, jika dia lupa bahwa dia sedang berpuasa dan mencelupkan kepalanya ke dalam air, puasanya tidak batal, tetapi setiap kali dia ingat, dia harus segera mengeluarkan kepalanya.(sl)