Serangan Turki ke Kurdi Suriah; AS Bukan Sekutu yang Dapat Diandalkan
Masalah serangan militer Turki di Suriah utara telah menerima reaksi beragam dari para pemain internasional. Meskipun dalih Ankara untuk memerangi milisi Uni Pertahanan Rakyat (YPG) yang mengklaim memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), tetapi masalah ini memiliki reaksi negatif.
Ini adalah ketiga kalinya pasukan Turki melancarkan operasi melawan Kurdi di Suriah utara. Operasi Turki pertama, disebut "Perisai Eufrat" dilakukan pada bulan Agustus yang menyebabkan pendudukan daerah A'zaz hingga Jarabulus Suriah dan operasi kedua bernama "Cabang Zaitun" yang berlangsung pada bulan Januari 2018, yang menyebabkan pendudukan kota Afrin. Tetapi operasi yang disebut "Peace Spring" jauh lebih luas daripada dua operasi sebelumnya.
Operasi itu meliputi area 460 kilometer dari tepi barat Sungai Eufrat ke perbatasan bersama Suriah dan Irak dan 30 hingga 40 kilometer ke dalam wilayah Suriah. Terlepas dari tekad pemerintah Ankara untuk aksi militer ini, tetapi sikap para pemain internasional utama di Asia Barat yaitu AS, Eropa dan Rusia sangat penting. Masing-masing dari tiga aktor ini memiliki sikap yang berbeda dalam menanggapi invasi Turki ke Suriah utara, tergantung pada tujuan dan kepentingan mereka.
Amerika Serikat, sebagai kekuatan intervensionis asing di Suriah utara, terutama di wilayah Kurdi, dalam beberapa tahun terakhir telah membentuk aliansi yang erat dengan Kurdi Suriah dalam kerangka Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan Unit Pertahanan Rakyat (YPG) di bawah slogan memerangi Daesh (ISIS). Masalah ini memicu kecaman keras dari Turki yang menganggap mereka sebagai mitra PKK, dan Ankara telah berulang kali menuduh Washington mengirim sejumlah besar peralatan militer ke Kurdi dan mempersenjatai mereka.
Sekalipun demikian, hingga perkembangan terakhir, Presiden AS Donald Trump bersikeras untuk terus mendukung Kurdi Suriah meskipun ada masalah penarikan pasukan AS. Namun, sejalan dengan tujuan keamanan dan anti-terorismenya, Turki telah melancarkan operasi militer di sepanjang perbatasannya dengan Suriah dan menciptakan jalur sepanjang 30 km untuk menciptakan koridor yang bebas dari milisi Kurdi di timur Eufrat dan memukimkan kembali sekitar 2 juta pengungsi Suriah di arena ini.
Titik balik dalam sikap AS adalah percakapan telepon antara Trump dan Erdogan yang dilaksanakan pada hari Minggu, 6 Oktober. Setelah percakapan telepon tersebut, Gedung Putih mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menarik pasukan AS dari perbatasan Suriah-Turki. Langkah ini bertentangan dengan janji yang sebelumnya diberikan AS kepada milisi Kurdi di Suriah utara. Washington sebelumnya berjanji kepada Kurdi untuk melindungi mereka dari kemungkinan serangan oleh militer Turki.
Tentu saja, Trump mengancam dalam pesan Twitter-nya bahwa jika Turki mengambil tindakan di Suriah yang melampaui garis merahnya, itu akan sepenuhnya menghancurkan ekonomi Turki. Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) mengatakan dalam sebuah pernyataan Senin setelah ancaman Trump terhadap Ankara bahwa operasi militer Turki di Suriah tidak disetujui oleh AS dan bahwa penarikan pasukan AS dari Suriah akan mencakup sebagian kecil dari pasukan itu di perbatasan Turki. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menulis di halaman Twitter-nya pada hari Senin, 7 Oktober, "Menjelang operasi militer Turki di Suriah, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk meninggalkan Suriah adalah pengkhianatan pada sumpah kepresidenannya."
Keputusan Trump untuk menarik pasukan AS dari daerah-daerah operasi militer Turki di Suriah utara, yang entah bagaimana ditafsirkan sebagai sikap mundur Trump menghadapi Erdogan dan tekadnya untuk menarik diri sepenuhnya dari Suriah, memicu banyak reaksi balik negatif dalam pemerintahan AS. Dari sudut pandang para politisi dalam pemerintah AS, baik Demokrat dan Republik, keputusan Trump untuk menarik pasukan AS dari Suriah merupakan kemunduran total yang akan memiliki konsekuensi serius bagi Washington dan sekutu regionalnya, tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi, sebagai reaksi terhadap keputusan Trump untuk menarik pasukan AS dari Suriah, mengatakan, "Keputusan sembrono dan menyesatkan ini melemahkan upaya pasukan AS dan sekutu kita untuk mengakhiri kekejaman Daesh (ISIS) dan mengirim pesan berbahaya ke Rusia dan Iran begitu juga sekutu kami bahwa Amerika Serikat bukan lagi menjadi mitra yang dapat diandalkan."
Selain itu, hal ini juga bertentangan dengan strategi regional AS di Asia Barat, yang dikutip dalam dokumen hulu seperti Strategi Keamanan Nasional AS 2018, sambil menegaskan kembali komitmen Washington terhadap sekutu regionalnya, telah membuat rekomendasi khusus tentang bagaimana mencapai tujuan regional AS. Pemimpin Senat dari Partai Republik, Mitch McConnell, Senin mengkritik keputusan Trump dan bersikeras bahwa penarikan AS dari Suriah hanya menguntungkan Rusia, Iran dan Presiden Suriah Bashar al-Assad, memberi Daesh kesempatan untuk membangun kembali dirinya. McConnell mengatakan, "Penarikan militer AS dari Suriah bukan untuk kepentingan nasional Amerika Serikat."
Para pejabat senior militer AS juga kritis terhadap keputusan Trump. Dengan demikian, api konflik antara Trump dan struktur pemerintah AS di Suriah sekali lagi dinyalakan. Sementara bukti menunjukkan bahwa kali ini, tidak seperti putaran sebelumnya, Trump tidak berniat untuk mundur dari keputusannya. Dengan demikian, ketika Trump dan Gedung Putih bertempur dengan DPR yang didominasi Demokrat atas penyelidikan pemakzulan Trump, presiden AS yang kontroversial itu menghadapi peningkatan kritik Republik terhadap keputusannya untuk menarik pasukan AS dari Suriah utara dengan tujuan untuk mempersiapkan serangan militer Turki di daerah tersebut.
Lampu hijau Presiden AS Donald Trump pada serangan Turki terhadap suku Kurdi di Suriah utara telah memicu kecaman luas di dalam negeri terhadapnya, serta meningkatnya keraguan sekutu AS terkait kepercayaan terhadap Washington. Terlepas dari lampu hijau Trump pada serangan Ankara di Suriah utara, perintahnya sekarang kepada Kementerian Keuangan AS untuk menjatuhkan sanksi pada Turki telah mendorong Ankara untuk merespons. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengumumkan Jumat malam bahwa Donald Trump telah menandatangani sebuah dekrit yang mengizinkan para pejabat AS untuk menjatuhkan sanksi berat pada Turki.
Mnuchin mengatakan, "Kita sekarang dapat menimbulkan kerusakan besar pada perekonomian Turki. Trump telah mengizinkan para pejabat untuk menjatuhkan sanksi berat baru pada Turki. Tentu saja, sanksi ini tidak akan ditegakkan sekarang." Setelah AS mengancam akan menjatuhkan sanksi pada Turki, nilai mata uang Turki menurut terhadap dolar. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Jumat malam, "Ankara akan menanggapi setiap tindakan yang diambil terhadap upaya kontraterorismenya." Trump sebelumnya mengancam akan menjatuhkan sanksi berat pada Turki jika melangkah melampaui perbatasan yang telah ditentukan dan masuk ke garis merah AS dalam operasi militernya di Suriah.
Presiden AS, yang dihadapkan pada tekanan domestik yang kuat untuk membiarkan bangsa Kurdi melawan Turki, telah berusaha mengurangi sedikit tekanan ini dengan memberikan izin penerapan sanksi dan pada saat yang sama menentang agresi Turki. Pendekatan Trump ini, bagaimanapun juga, membuat sekutunya semakin tidak percaya pada komitmen Amerika yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap Washington. Selama pemerintahan Obama pada 2014, Amerika Serikat menciptakan koalisi yang dikenal sebagai Koalisi Anti-Daesh Internasional, di mana Kurdi Suriah memainkan peran penting dalam melawan Daesh.
Kerja sama dan dukungan Washington meningkat selama pemerintahan Trump, dan Kurdi Suriah memainkan peran penting dalam mengalahkan Daesh, termasuk di Raqqa, dalam bentuk Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan Unit Pertahanan Rakyat (YPG). Terlepas dari persepsi orang Kurdi tentang dukungan Amerika yang berkelanjutan untuk mereka, Trump segera membuang mereka di belakang Turki dan menikam mereka dari belakang. Untuk membenarkan masalah ini, Trump mengklaim bahwa AS telah berperang di Suriah selama 10 tahun dan sekarang harus menarik pasukannya keluar dari siklus perang tanpa akhir. Pada saat yang sama, Trump percaya bahwa langkah apa pun harus membawa keuntungan finansial ke Amerika Serikat, jadi dia tidak melihat alasan untuk mendukung Kurdi Suriah melawan invasi Turki dan dengan demikian mengabaikannya.
Sekaitan dengan hal ini, Trump mengatakan, "Kami diminta untuk bertarung bersama Kurdi di Suriah, tetapi saya mengatakan kami tidak mendukung satu pihak melawan pihak lain." Langkah Trump telah menyebabkan banyak penentangan, terutama di dalam Kongres AS. Senator Bernie Sanders, kandidat pemilu presiden AS 2020 mengatakan, "Keputusan Trump untuk menarik pasukan AS dari Suriah menjelang invasi Turki adalah "tindakan memalukan". Kita tidak tidak boleh membelakangi sekutu kita yang berperang dan mati bersama pasukan Amerika."
Trump memiliki sikap ganda terhadap Turki. Di satu sisi, setelah pembicaraan dengan Erdogan, ia tampaknya telah dibujuk oleh Erdogan untuk menyetujui penarikan pasukan AS dari wilayah yang dikuasai Turki agar memungkinkan Turki menyerang Suriah utara. Trump telah memberi Erdogan konsesi besar. Hubungan Washington-Ankara telah tegang dalam beberapa bulan terakhir atas pembelian sistem rudal S-400 Turki dari Rusia dan penolakan keras Washington terhadapnya. Pemerintahan Trump bukan saja telah mengeluarkan Turki dari program jet tempur canggih F-35, tetapi juga menjanjikan sanksi yang akan diambil Kongres terhadap Turki dalam kerangka hukum CAATSA yang melihat pembelian senjata besar dari Rusia dapat menyebabkan pemberian sanksi kepada negara pembeli.
Bagaimanapun juga, dalam kondisi ini, Trump puas membiarkan Kurdi sendiri dan meninggalkan mereka dalam menghadapi invasi Turki. Alasan Trump, tentu saja, adalah bahwa AS tidak memiliki tanggung jawab atas suku Kurdi, dan di sisi lain itu telah memberi mereka cukup peralatan militer dan senjata untuk mempertahankan diri. Namun, justifikasi Trump tidak memuaskan Kurdi atau mengurangi kritik tajam para politisi dan Kongres AS. Trump, di sisi lain, tampaknya mendesak kementerian kekuangan AS untuk memperingatkan Turki agar tidak melintasi garis merah Amerika dan mengizinkan sanksi terhadap Turki untuk membujuk Kongres dan berpura-pura bahwa Ankara tidak memiliki kebebasan tanpa batas untuk menindas dan menghancurkan Kurdi Suriah. Perintah ini dengan sendirinya telah membuat Ankara sangat tidak puas.
Turki sekarang menghadapi sikap kongres AS yang bermusuhan. Anggota parlemen AS pada hari Jumat memperkenalkan lebih banyak hukum untuk sanksi keras terhadap Turki karena menyerang Suriah, ini sebuah langkah yang menggarisbawahi ketidakpuasan mereka baik Demokrat dan Republik di Kongres atas kebijakan Trump tentang Suriah. Sebelumnya, dua senator Partai Republik, Lindsey Graham dan Chris Van Hollen, telah mengajukan rencana yang menyerukan sanksi luas terhadap Turki, termasuk sanksi terhadap para pejabat senior seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Anggota parlemen AS, baik Demokrat dan Republik, juga menyuarakan kritik keras meninggalkan Kurdi Suriah sendiri menghadapi Turki. Mereka percaya bahwa dengan melakukan itu, Trump melemahkan posisi Amerika dengan sekutu-sekutunya di seluruh dunia dan tidak ada yang akan bergantung pada Washington. Perwakilan Arizona Ruben Gallego di Kongres AS telah mengutuk penarikan pasukan dari Suriah setelah lima tahun bergabung dengan pasukan Kurdi, merusak prestise negaranya dan mengatakan, "Mengizinkan Turki untuk pergi ke Suriah utara adalah langkah terburuk yang mungkin dilakukan AS di Asia Barat. Bangsa Kurdi tidak akan pernah lagi mempercayai Amerika."
Beberapa analis AS telah memperingatkan pemerintah Trump bahwa melepaskan Kurdi adalah peringatan bagi sekutu Washington lainnya di wilayah tersebut. Ini adalah peringatan yang kini telah menjadi kenyataan, dan bahkan beberapa politisi Zionis, seperti Naftali Bennet, telah berbicara tentang perlunya rezim ini bergantung pada dirinya. Dia secara implisit menggambarkan Washington sebagai mitra yang tidak bisa diandalkan. Menurut Bennet, "Pemerintah Yahudi tidak akan pernah menyerah nasibnya kepada orang lain, termasuk teman baik kita, Amerika Serikat." Dengan demikian, pelanggaran janji Trump terhadap Kurdi sekarang memberikan sekutu-sekutunya catatan yang sangat buruk sebagai mitra yang sebelumnya dapat diandalkan.