Apakah Biden Mengubah Kebijakan Trump Mengenai Palestina?
Setelah Joe Biden terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dan berkuasa di negara ini, kebijakan Washington berubah dibandingkan dengan pemerintahan Donald Trump dalam beberapa kasus. Namun dalam sebagian kasus lain, dia melanjutkan kebijakan Trump, dan seandainya ada perubahan dalam beberapa kasus, tentunya perubahan itu hanyalah tampak dari luarnya dan hanya verbal.
Salah satu kasus yang jelas adalah masalah Palestina. Selama era Trump, AS mengambil langkah strategis untuk mendukung rezim Zionis Israel, dan selama periode ini pula, pemerintah Trump benar-benar bertindak sebagai perpanjangan tangan dari rezim Benjamin Netanyahu.
Sampai saat itu, rencana AS untuk menyelesaikan krisis Palestina, yang dianggap mengikat kedua partai yang bersaing, Demokrat dan Republik, adalah pembentukan dua pemerintahan di wilayah Palestina pendudukan.
Dengan kata lain, sejak tahun 1948, Israel telah memaksakan dirinya sebagai sebuah negara yang menguasai sebagian besar wilayah Palestina, sehingga hal ini bermakna bahwa akan dibentuk sebuah negara kecil Palestina di sebelahnya.
Hingga saat itu, di dalam Israel dan Palestina yang diduduki, terjadi perdebatan tentang apakah rencana pembentukan dua pemerintahan menguntungkan rezim Zionis atau rencana satu pemerintahan dengan dua bangsa.
Selama masa Trump menjabat sebagai Presiden AS, rencana kedua, yang diminta oleh partai sayap kanan Israel, dimasukkan ke dalam agenda, dan pemerintahan Trump juga menyetujuinya.
Sejalan dengan tujuan partai sayap kanan Israel untuk melemahkan fondasi pemerintahan Palestina, kantor PLO (Palestine Liberation Organization) di Amerika ditutup, dan konsulat AS di al-Quds Timur ditutup.
Setelah itu, program aneksasi distrik-distrik Yahudi, terutama di Lembah Yordan, ke Palestina pendudukan untuk memperluas perbatasan Israel dari tanah yang diduduki tahun 1948 hingga tanah yang diduduki tahun 1967 dimasukkan dalam agenda.
Dengan datangnya pemerintahan Biden, tidak ada perubahan dalam kebijakan AS dibandingkan dengan era sebelumnya yang terjadi, bahkan dengan terbentuknya pemerintahan koalisi Lapid dan Gantz, tersedia landasan yang lebih menguntungkan untuk kerjasama pemerintahan Biden dengan Tel Aviv dibandingkan dengan pemerintahan Netanyahu.
Dengan diadakannya pemilu baru di Palestina pendudukan (Israel), yang hasilnya, Netanyahu kembali meraih tampuk kekuasaan dengan partisipasi partai-partai sayap kanan, diperkirakan bahwa hubungan antara kedua belah pihak akan menjadi tegang lagi, tetapi selama kunjungan tiga pejabat Biden baru-baru ini ke Israel, termasuk Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan, Direktur Badan Pusat Intelijen AS (CIA) William Burns, dan Menteri Luar Negeri Anthony Blinken tidak ada hal yang menunjukkan adanya perselisihan serius antara Washington dan Tel Aviv.
Meskipun ada beberapa tanda ketegangan dan ketidaksepakatan dalam hubungan antara kedua belah pihak, tetapi intensitasnya rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan pada saat yang sama, selama pertemuan ini, menjadi jelas bahwa pemerintahan Biden tidak berniat menekan pemerintah Zionis sayap kanan yang baru.
Dalam pertemuan antara pejabat-pejabat AS dan Israel tersebut, berbagai masalah dibahas dan kedua belah pihak mencoba untuk menunjukkan posisi yang sama mengenai Iran, terutama evaluasi terkait dengan Ukraina, di mana Israel berjanji akan mengirim sistem Iron Dome ke Ukraina.
Meskipun Blinken mengatakan bahwa AS berkomitmen pada rencana pembentukan dua pemerintahan, namun menurut laporan Haaretz, Blinken tidak berbicara, bahkan tidak mengumumkan tentang pembukaan kembali konsulat Amerika di al-Quds Timur atau pembukaan kembali kantor PLO di Washington.
Dari kunjungan para pejabat AS ke Tel Aviv juga menjadi jelas bahwa mereka sangat khawatir atas kelanjutan pemutusan kerja sama keamanan Otorita Ramallah dengan rezim Zionis. Padahal, mereka sedang berusaha menempatkan Otorita Ramallah di garis depan untuk menghadapi kelompok-kelompok perlawanan baru seperti Arin al-Aswad guna mencegah peningkatan korban militer Zionis dan mengubah perang Palestina-Israel menjadi perang Palestina-Palestina.
Yang pasti, menghadapi konspirasi tersebut, maka tanggung jawab Otorita Palestina semakin meningkat sehingga kebutuhan untuk melestarikan dan memperkuat persatuan nasional Palestina semakin diperlukan. (RA)