Intifada Al-Aqsa; Kekuatan Pencegahan Palestina Bertambah, Zionis Semakin Rapuh
23 tahun telah berlalu sejak Intifada Al-Aqsa. Pertanyaan pentingnya adalah, 23 tahun setelah Intifada Al-Aqsa, perubahan apa saja yang terjadi di medan konflik Palestina-Israel?
Pada tanggal 28 September 2000, Ariel Sharon yang merupakan ketua gerakan oposisi rezim Zionis saat itu, dengan dukungan 2.000 pasukan keamanan khusus dan polisi Zionis, menodai Masjid Al-Aqsa dengan lampu hijau Ehud Barak, Perdana Menteri Zionis masa itu.
Pasca penyerangan Masjid Al-Aqsa, Sharon menyatakan bahwa tempat itu akan menjadi milik Israel selamanya.
Pernyataan-pernyataan provokatif tersebut menimbulkan kemarahan warga Palestina, dan setelah itu terjadilah bentrokan dengan kekerasan yang mengakibatkan 7 warga Palestina gugur syahid dan 250 lainnya luka-luka. Di sisi lain, 13 tentara Zionis terluka.
Pasca kejadian ini, kota Baitul Maqdis menjadi ajang bentrokan hebat antara warga Palestina dengan penjajah Zionis, dan puluhan orang terluka dalam peristiwa tersebut, dan akhirnya cakupan konflik tersebut semakin luas dan meluas hingga ke Tepi Barat dan Jalur Gaza, sehingga gerakan ini disebut Intifada Al-Aqsa.
Intifada Al-Aqsa berlangsung selama 5 tahun hingga tahun 2005. Menurut statistik yang diumumkan oleh sumber-sumber Palestina dan Zionis, 4.412 warga Palestina gugur syahid dan 48.322 lainnya terluka dalam intifada Al-Aqsa.
Selain itu, 1.100 Zionis, termasuk 300 tentara, tewas dan sekitar 4.500 lainnya luka-luka.
Sejak Intifada al-Aqsa hingga saat ini, rezim pendudukan Al-Quds telah beberapa kali melancarkan perang terhadap Palestina. Sampai tahun lalu, semua perang terjadi di Jalur Gaza, tetapi sejak tahun lalu, Tepi Barat juga menjadi sasaran rezim pendudukan.
Alasan utamanya adalah bahwa Tepi Barat telah dipersenjatai dalam beberapa tahun terakhir dan banyak kelompok perlawanan telah terbentuk di Tepi Barat, dan bahkan sejumlah besar operasi perlawanan telah dilakukan di wilayah pendudukan, termasuk di Tel Aviv, oleh kelompok perlawanan yang berbasis di Tepi Barat.
Oleh karena itu, mempersenjatai Tepi Barat dan pembentukan kelompok perlawanan di daerah ini merupakan perkembangan terpenting dalam konflik Palestina-Israel selama 23 tahun terakhir.
23 tahun telah berlalu sejak Intifada Al-Aqsa. Pertanyaan pentingnya adalah, 23 tahun setelah Intifada Al-Aqsa, perubahan apa saja yang terjadi di medan konflik Palestina-Israel?
Dalam hal ini, Tareq Salmi, Juru Bicara Gerakan Jihad Islam Palestina, hari Kamis (28/09/2023) dalam wawancara dengan Iranpress di Gaza tentang posisi perlawanan setelah dua puluh tiga tahun Intifada Al-Aqsa menjelaskan, Kemampuan perlawanan Palestina di Tepi Barat, khususnya di Al-Quds semakin meningkat.
Menurutnya, Brigade Quds, sayap militer Gerakan Jihad Islam Palestina, masih tetap berperan sebagai pemusnah rencana dan plot penjajah Zionis terhadap Tepi Barat dan Masjid Al-Aqsa setelah bertahun-tahun, dan sepenuhnya siap menghadapi kejahatan dari rezim Zionis Israel.
Perkembangan penting lainnya adalah senjata terpenting warga Palestina dalam ]ntifada al-Aqsa adalah batu dan pisau, tetapi saat ini kelompok Palestina menyerang wilayah pendudukan, termasuk fasilitas vital di Tel Aviv, dengan berbagai rudal.
Para pemukim terpaksa berlindung di tempat penampungan di setiap perang.
Oleh karena itu, kekuatan pencegahan kelompok perlawanan Palestina tidak sebanding dengan Intifada Al-Aqsa, bahkan cakupan geografis serangan Palestina telah meluas hingga Tel Aviv.
Perkembangan lainnya adalah seiring berjalannya waktu, kerapuhan internal rezim Zionis semakin meningkat dan kini telah mencapai level di mana para pejabat rezim pun memperingatkan bahaya keruntuhannya.
Kohesi internal rezim Zionis telah hilang dan perbedaan internal telah mencapai titik tertinggi, sehingga dalam 5 tahun terakhir, telah diadakan 5 kali pemilu dan beberapa kabinet sementara telah terbentuk, dan kabinet saat ini yang dipimpin oleh Netanyahu juga dalam kondisi menurun.(sl)