MA Tolak RUU Reformasi Peradilan, Pejabat-Pejabat Israel Bersitegang
Ketegangan politik di antara pejabat-pejabat rezim Zionis Israel memasuki babak baru setelah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) rezim ilegal ini, yang menolak dan membatalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) reformasi peradilan yang diusulkan oleh kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Mahkamah Agung rezim Israel, pada Senin (1/12024, akhirnya memberikan suara menentang terhadap RUU kontroversial yang diusulkan kabinet Netanyahu. Hasil dari keputusan tersebut, para hakim dapat membatalkan keputusan yang "tidak rasional" yang diambil oleh kabinet. Delapan dari 15 hakim, memilih untuk membatalkan RUU tersebut.
Knesset (Parlemen) rezim Zionis menyetujui reformasi ini pada tahun 2023, meskipun ada protes yang meluas di wilayah pendudukan. Pada dasarnya, RUU peradilan ini akan memungkinkan pemerintah dan Knesset untuk membatalkan keputusan Mahkamah Agung dengan mayoritas sederhana.
Di antara tujuan lain dari reformasi peradilan tersebut adalah mengurangi kemampuan dan kewenangan pengadilan untuk meninjau ulang undang-undang dan tindakan administratif, serta mencegah pengadilan mengeluarkan keputusan mengenai kesesuaian undang-undang yang disahkan di Parlemen (Knesset ) dengan konstitusi.
Selain itu, jika RUU ini diterapkan, kabinet rezim Zionis dapat mengubah susunan panitia seleksi hakim sedemikian rupa sehingga dapat mengangkat mayoritas anggotanya.
Para pengkritik Netanyahu, dan partai-partai oposisi kabinet, menganggap tujuan utama para pendukung reformasi tersebut adalah melemahkan lembaga peradilan. Zionis ekstrem adalah salah satu pendukung utama RUU ini, dan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkannya akan meningkatkan ketegangan internal di wilayah pendudukan.
Menteri Kehakiman rezim Zionis Yariv Levin yang merupakan perancang RUU tersebut mengkritik keras Pengadilan Tinggi. Dia menyebut keputusan Pengadilan Tinggi sebagai langkah memecah belah, dan dia berjanji untuk mengejar tujuan-tujuan Zionis ektrem.
Tampaknya konsekuensi dari keputusan Mahkamah Agung rezim Israel tidak hanya sebatas pada beberapa komentar politik saja, dan prediksi ketegangan politik pun tidak jauh dari pikiran.
Kabinet Netanyahu dan Zionis ekstrem memberikan dukungan luas kepada koalisi Likud untuk implementasi dan penyelesaian RUU tersebut, dan dengan keputusan Mahkamah Agung ini, maka perselisihan antara mereka dan pemerintah akan semakin meningkat.
Zionis ektrem memainkan peran penting dalam pembentukan kabinet koalisi Netanyahu yang rapuh, dan dengan terputusnya dukungan terhadap kelompok ini, kabinet tidak akan memiliki mayoritas, dan bahkan kemungkinan menyelenggarakan pemilu akan meningkat.
Perdana Menteri rezim Zionis dan Likud sangat takut mengadakan pemilu karena jajak pendapat menunjukkan bahwa jika diadakan pemilu parlemen, mereka akan kehilangan mayoritas dari 64 kursi di Knesset, dan angka ini akan mencapai sekitar 40 kursi.
Keputusan Mahkamah Agung rezim Zionis harus dilihat sebagai salah satu konsekuensi dari agresi militer Israel ke Jalur Gaza dan ketidakmampuan Netanyahu memenuhi janjinya untuk kemenangan mudah atas kelompok perlawanan Islam Palestina. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden sebelumnya juga telah meminta penangguhan RUU peradilan ini.
Salah satu masalah utama Netanyahu adalah menarik dukungan dari partai-partai sayap kanan ekstrem, yang dengan adanya pemungutan suara Mahkamah Agung terhadap RUU ini, akan membuat situasi Netanyahu lebih sulit dari sebelumnya untuk mempertahankan koalisi politik. (RA)