Skenario Baru Zionis Menduduki Sebagian Besar Gaza untuk Jangka Panjang
-
Gaza
Pars Today - Kepala Staf Militer Zionis Israel mengungkapkan skenario baru rezim Zionis untuk pendudukan jangka panjang sebagian besar Jalur Gaza.
Menurut laporan Pars Today, rencana yang disebut "Garis Kuning," yang awalnya diperkenalkan sebagai perbatasan sementara setelah gencatan senjata, menjadi kenyataan geografis dan tanda jelas perubahan strategi rezim Zionis menuju pendudukan jangka panjang sebagian besar wilayah ini dengan mendirikan lebih dari 20 pangkalan militer permanen dan menguasai lebih dari setengah wilayah Jalur Gaza.
Para ahli menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran nyata terhadap perjanjian gencatan senjata dan penghalang yang disengaja terhadap implementasi fase kedua gencatan senjata di Gaza.
Menurut laporan ini, pernyataan terbaru Eyal Zamir, Kepala Staf Militer Israel, bahwa "Garis Kuning adalah garis perbatasan baru, garis militer yang maju, dan garis serangan", telah mengungkapkan skenario baru Tel Aviv.
Pernyataan-pernyataan ini, yang sepenuhnya bertentangan dengan ketentuan perjanjian gencatan senjata Sharm El-Sheikh (berdasarkan penarikan Israel dari Jalur Gaza), menegaskan bahwa rencana yang disebut "Garis Kuning" bukan lagi perbatasan keamanan sementara, tetapi proyek untuk mengubah geografi politik Gaza dan mengkonsolidasikan pendudukan.
Menurut laporan lapangan, rezim Zionis telah membangun lebih dari 20 pangkalan dan lokasi militer yang dilengkapi dengan tembok beton, menara pengawas, dan jalan aspal di sepanjang garis ini, dan secara efektif menjalankan kendali militer permanen atas lebih dari 58 persen wilayah Jalur Gaza (sekitar 210 kilometer persegi).
Pangkalan-pangkalan ini, yang dibangun setelah gencatan senjata, telah mencegah puluhan ribu pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka di sebelah timur garis ini dan sejauh ini telah menyebabkan banyak warga Palestina yang mencoba menyeberang atau mendekati daerah-daerah ini gugur syahid.
Menurut para analis, tujuan strategis dari langkah ini adalah untuk memaksakan "realitas geografis baru" dan menciptakan "zona penyangga" tak berpenghuni di kedalaman Gaza.
Dalam konteks ini, analis Palestina Shafiq Al-Talouli menekankan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya secara paksa mengalihkan perang dari tantangan politik menjadi tantangan geografis, dan dengan praktis mencaplok sebagian besar Jalur Gaza, mengurangi ruang hidup warga Palestina menjadi kurang dari setengahnya. Langkah ini secara serius mengancam proyek pembentukan negara Palestina.
Sejalan dengan itu, anggota Dewan Urusan Luar Negeri Mesir Ahmad Fuad Anwar mengutuk langkah Israel itu, menyebutnya sangat provokatif dan merusak inti dari perjanjian tersebut, dan memperingatkan bahwa Tel Aviv sedang mengejar skenario "Lebanonisasi" Gaza; yaitu, mempertahankan kehadiran militer permanen dengan dalih keamanan, mirip dengan apa yang kita saksikan di Lebanon selatan.
Hasil dari strategi ini adalah peningkatan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza. Penguasaan lebih dari setengah wilayah Jalur Gaza, ditambah dengan blokade darat dan laut yang lengkap, tidak hanya membuat rekonstruksi menjadi mustahil, tetapi juga meningkatkan kepadatan penduduk di wilayah barat yang tersisa secara berbahaya, yang selanjutnya menghambat kehidupan 2,4 juta penduduknya.
Masa depan perjanjian gencatan senjata dan nasib penduduk Jalur Gaza kini bergantung pada keseimbangan kekuatan di lapangan, perlawanan Palestina, dan tingkat tekanan internasional yang nyata untuk memaksa rezim Israel mematuhi komitmen awalnya.(sl)