Ketika Direktur CIA Mengaku Perlu Berinteraksi dengan Iran
(last modified Fri, 02 Feb 2024 04:18:50 GMT )
Feb 02, 2024 11:18 Asia/Jakarta

William Burns, Direktur Dinas Intelijen AS (CIA), dalam sebuah artikel di majalah Foreign Affairs, membahas tantangan keamanan yang dihadapi AS di dunia dan menganggap kunci keamanan Israel dan kawasan Timur Tengah adalah interaksi dengan Iran.

Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di Foreign Affairs pada tanggal 30 Januari, direktur CIA memperingatkan bahwa dirinya telah menghabiskan sebagian besar waktunya selama empat dekade terakhir di Timur Tengah dan jarang melihat situasi yang “lebih kompleks atau lebih eksplosif” dibandingkan situasi saat ini.

Mengacu pada tantangan dan kesulitan perang antara Israel dan Hamas, dia menyebutkan bahwa setelah krisis ini, Perlawanan Yaman yang didukung oleh Iran juga mulai menyerang kapal-kapal komersial di Laut Merah dan “masih ada risiko peningkatan ketegangan di bidang lain”.

William Burns, Direktur CIA

Burns mengklaim bahwa Amerika tidak sepenuhnya bertanggung jawab untuk memecahkan masalah apa pun di Timur Tengah, tapi “tidak ada satu pun darinya tidak bisa diselesaikan tanpa kepemimpinan aktif Amerika Serikat, bahkan tidak dapat dikelola”.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan bahwa situasi di kawasan Timur Tengah sejak tahun 1973 tidak berbahaya seperti sekarang ini.

Pengakuan pejabat senior intelijen AS tentang perlunya berinteraksi dengan Iran diungkapkan karena fakta-fakta yang tidak dapat disangkal di kawasan.

Amerika dan sekutu regionalnya selalu berusaha menyangkal peran dan pengaruh Republik Islam Iran dalam perkembangan dan tren regional.

Dalam hal ini, sambil memajukan kebijakan mereka di Asia Barat, Washington dan mitra-mitranya terus melakukan upaya untuk melawan pengaruh Iran dengan membangun koalisi dan menghadapi komponen kekuatan regional Iran, yang tentu saja berakhir dengan banyak kegagalan bagi mereka.

Upaya-upaya ini dilakukan pada masa kepresidenan Donald Trump, yang dituangkan dalam dokumen tingkat tinggi seperti dokumen “Strategi Keamanan Nasional”, dalam praktiknya menindaklanjuti langkah-langkah seperti Kesepakatan Abraham yang didasarkan pada normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel dengan membentuk regional yang terdiri dari rezim Zionis dan negara-negara tersebut seperti UEA, Bahrain dan Maroko, dan pada tahap berikutnya, Arab Saudi.

Namun, pengaruh Iran yang tidak dapat disangkal terhadap tren dan perkembangan regional terlihat jelas dalam bentuk dukungan terhadap gerakan perlawanan di tingkat regional. Dukungan itu dimulai dari kelompok perlawanan Palestina hingga gerakan Hizbullah di Lebanon, gerakan Ansarullah di Yaman, dan gerakan Hashd Shaabi di Irak, yang oleh Barat, mereka disebut sebagai kelompok proksi Iran.

Situasi ini telah mengkristal dalam konfrontasi dengan Washington dan mitra regionalnya dengan fakta yang tidak dapat disangkal, yaitu peran dan pengaruh Iran yang pasti dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan regional.

William Burns, Direktur Dinas Intelijen AS (CIA), dalam sebuah artikel di majalah Foreign Affairs, membahas tantangan keamanan yang dihadapi AS di dunia dan menganggap kunci keamanan Israel dan kawasan Timur Tengah adalah interaksi dengan Iran.

Contoh terkini permasalahan ini, yang bisa dikatakan mengganggu realisasi tujuan regional Amerika Serikat dan rezim Zionis, adalah dukungan Iran terhadap kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, terutama pasca operasi Badai Al-Aqsa pada tanggal 7 Oktober dan perang Gaza, yang kini melewati bulan keempat.

Dimensi lain dari pendekatan regional Iran adalah dukungan efektif Iran terhadap gerakan Hizbullah dalam konflik saat ini dengan rezim Zionis, serta dukungan perlawanan Yaman dalam operasi militer di Laut Merah terhadap kapal-kapal yang menuju Wilayah Pendudukan Palestina.

Iran telah berkali-kali menyatakan bahwa dukungannya terhadap hak sah perlawanan untuk mempertahankan diri dan menghadapi penjajah dan agresor selalu berlanjut, tapi hal ini tidak berarti campur tangan dalam tindakan dan operasi kelompok perlawanan.

Nasser Kanaani, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran dalam hal ini menekankan, Kelompok perlawanan di kawasan tidak menerima perintah dari Republik Islam Iran dalam keputusan dan tindakan mereka, dan Republik Islam Iran tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dan tindakan mereka untuk mendukung bangsa Palestina atau membela diri dan rakyat negaranya dari agresi dan pendudukan.

Kanaani menambahkan, Mengulangi tuduhan tak berdasar terhadap Iran adalah proyeksi dan juga konspirasi mereka yang melihat kepentingan mereka untuk menyeret Amerika ke dalam pertempuran baru di kawasan dan menghasutnya untuk memperluas dan meningkatkan krisis demi menutupi kepentingan mereka dengan cara ini.

Kelompok perlawanan Islam di kawasan Asia Barat, termasuk di Irak dan Suriah, serta pasukan Yaman, menyusul serangan rezim Zionis di Jalur Gaza dan dukungan komprehensif Washington terhadap rezim ini, telah berulang kali memperingatkan AS akan menargetkan pangkalan Amerika di kawasan dan dalam praktiknya mereka telah melakukan banyak serangan terhadap pangkalan-pangkalan itu.

Poros Perlawanan

Rangkuman dari isu-isu ini dan klaim AS mengenai dorongan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok proksi Iran di kawasan oleh Tehran menunjukkan bahwa Washington, meskipun mengabaikan dan bahkan menyangkal pengaruh Iran dalam perkembangan regional, khususnya keamanan di Asia Barat, terpaksa menghadapi hal-hal tersebut. Kawasan ini, yang jelas-jelas tidak berdaya dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut, harus berinteraksi dengan Iran.

Dengan kata lain, untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan, Amerika Serikat harus memperhatikan keinginan, pertimbangan, dan kepentingan Iran serta menghentikan tindakan permusuhan terhadap Tehran dan Poros Perlawanan.(sl)