Islamofobia, Strategi Kotor Eropa Hadapi Anti-Semitisme
Anti-Semitisme dan Islamofobia adalah dua sisi dari mata uang yang sama, dan fakta bahwa para pemimpin Eropa, dalam upaya melawan anti-Semitisme, menganggap Israel dibenarkan membunuh lebih dari 30.000 warga Palestina hanyalah penyimpangan terbaru dalam perjuangan melawan rasisme!
Anti-Semitisme dan Islamofobia selalu seperti saudara kembar dalam imajinasi rasial orang kulit putih Eropa. Secara historis, keberadaan benua kulit putih dan Kristen di Eropa mengharuskan pengecualian Muslim dan Yahudi dari Eropa.
Masalah ini mengambil bentuk yang sangat kejam dan aneh dengan berdirinya Israel. Pendirian Israel lebih dari sekedar proyek Yahudi, namun merupakan proyek Zionis yang lahir atas dasar nasionalisme kulit putih Eropa. Dengan lahirnya Israel, orang-orang Yahudi dianggap berkulit putih, dan Israel saat ini diterima secara luas oleh banyak otoritas politik Eropa sebagai bagian dari "tradisi" Yahudi-Kristen yang baru ditemukan setelah tahun 1948.
Apakah Anti-Zionisme Berarti Anti-Semitisme?
Pada tahun 2019, sebuah resolusi disahkan oleh banyak partai di Jerman yang mengutuk gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi Israel (BDS) yang populer sebagai tindakan anti-Semit.
Namun sebelum itu, ada langkah penting lainnya, yaitu dukungan dan penerimaan definisi anti-Semitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA).
Tindakan tersebut sangat konyol sehingga 100 organisasi masyarakat sipil internasional menulis surat kepada PBB untuk menolak definisi tersebut, yang mereka yakini telah “disalahgunakan” untuk melindungi Israel dari kritik yang sah.
Menurut definisi IHRA, setiap kritik terhadap Israel dianggap sebagai tindakan anti-Semit, dan akibatnya tidak lain hanyalah penindasan terhadap protes damai, aktivisme, dan pidato kritis apa pun tentang Israel dan Zionisme di Amerika dan Eropa.
Selain Uni Eropa (UE) dan Dewan Eropa, beberapa negara anggota Uni telah mengadopsi definisi ini di tingkat nasional, termasuk Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman , Yunani, Hongaria, Italia, Latvia, Lituania, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Spanyol, dan Swedia.
Meskipun definisi IHRA tidak mengikat secara hukum, definisi tersebut merupakan upaya untuk menghambat kebebasan berpendapat secara serius di masa depan.
Perlawanan terhadap Anti-Semitisme Setelah Peristiwa 7 Oktober
Setelah peristiwa 7 Oktober, meskipun ada peringatan dari Komisi Eropa, laporan media mengindikasikan adanya peningkatan insiden anti-Semit serta Islamofobia di benua ini. Namun, meski banyak pemerintah Eropa mengkritik Hamas karena menyerang Zionis, pada saat yang sama mereka menyetujui pembunuhan yang dilakukan tentara Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza.
Meskipun pemerintah Eropa menghiasi monumen nasional dan gedung pemerintahan mereka dengan bendera Israel sebagai tanda solidaritas, tapi bendera Palestinalah yang dikibarkan oleh orang-orang di jalan-jalan kota-kota Eropa. Suara protes dan pawai para pendukung Palestina tidak sampai ke telinga para negarawan dan mereka yang berkuasa dengan suara rakyat yang sama, malah dihadapkan pada pelarangan, penindasan dan penghinaan.
Penindasan terhadap Pihak Penentang Israel
Otoritas politik Eropa sebagian besar mengecam pembunuhan 1.400 Zionis dan penangkapan lebih banyak orang selama serangan Palestina. Namun pada saat yang sama, mereka mengabaikan pembunuhan lebih dari 30.000 orang di Gaza dan Tepi Barat. Dan parahnya lagi, simpati masyarakat terhadap Palestina dikriminalisasi!
Penulis Palestina seperti Adania Shabelli tidak diundang ke pameran buku terkenal di Frankfurt, pemain sepak bola Anwar al-Ghazi diskors karena postingannya yang pro-Palestina di media sosial.
Politisi Eropa yang anti-Islam seperti Menteri Dalam Negeri Perancis Gérald Darmanin, yang sebelumnya berusaha melarang demonstrasi pro-Palestina serta organisasi non-pemerintah (LSM) pro-Palestina, juga berupaya menentang setiap demonstrasi yang dilakukan para pendukung Palestina. Dia melarangnya dan menyebut aksi tersebut sebagai gangguan ketertiban umum, bahkan mengancam akan mendeportasi orang asing yang berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut.
Pada awalnya, polisi Perancis secara brutal menekan protes tersebut dengan menggunakan gas air mata dan meriam air. Namun, ribuan orang tetap turun ke jalan dan kali ini bahkan ribuan orang bergabung dalam demonstrasi yang dilarang tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Jerman. Para pengunjuk rasa turun ke jalan untuk mendukung Palestina dan dilecehkan karena menghadiri pertemuan damai tersebut dan hanya karena mengibarkan bendera Palestina.
Suella Braverman, mantan Menteri Dalam Negeri Inggris, juga mengumumkan bahwa slogan "Dari sungai ke laut, Palestina akan Bebas" sebagai potensi kejahatan. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri Jerman mengumumkan bahwa ini adalah slogan Hamas. Oleh karena itu, jaksa penuntut negara bagian Bavaria mengumumkan hukuman bagi pihak yang menyuarakan slogan in yangi sama dengan hukuman karena mengucapkan "Heil Hitler" (panjang umur Hitler).
Selain itu, para elit politik Eropa mengirimkan sinyal-sinyal yang membawa bencana kepada komunitas dunia bahwa nyawa orang Israel lebih berharga daripada nyawa orang palestina. Tampaknya pelajaran utama yang dipelajari para pemimpin Eropa dari Holocaust adalah bahwa slogan terkenal "Holocaust tidak akan pernah terjadi lagi" hanya berlaku untuk orang Yahudi dan tidak berlaku untuk orang lain di planet Bumi ini!