Jejak Bahaya Mikroplastik di Balik Rumput Laut
https://parstoday.ir/id/news/world-i179904-jejak_bahaya_mikroplastik_di_balik_rumput_laut
Laut menelan plastik, manusia menelan laut.
(last modified 2025-11-09T09:04:10+00:00 )
Nov 09, 2025 11:59 Asia/Jakarta
  • Jejak Bahaya Mikroplastik di Balik Rumput Laut

Laut menelan plastik, manusia menelan laut.

Oleh: Khusnul Yaqin,  Guru Besar Ekotoksikologi Perairan Universitas Hasanuddin

Bayangkan, Anda sedang asyik menikmati semangkuk sup miso hangat, dengan potongan rumput laut yang tampak lembut dan lezat. Tapi di balik itu, tersembunyi ribuan partikel mikroplastik yang tak terlihat mata. Riset terbaru yang dilakukan tim ilmuwan dari Tiongkok dan Belanda mengungkap fakta mengejutkan bahwa superfood laut ini bisa menjadi salah satu sumber terbesar paparan plastik bagi manusia.

Riset berjudul, “Seaweeds as a major source of dietary microplastics exposure in East Asia,” dimuat di jurnal Food Chemistry. Sepuluh ilmuwan—sembilan dari Tiongkok dan satu dari Belanda—berkolaborasi dalam penelitian ini. Temuannya bukan sekadar data ilmiah, melainkan alarm senyap bagi siapa pun yang masih percaya bahwa laut adalah dapur yang bersih.

Bagi banyak orang Asia Timur, rumput laut adalah simbol hidup sehat: kaya mineral, rendah kalori, dan penuh serat. Namun riset ini mengungkap sisi gelap dari superfood laut hijau itu. Di balik manfaatnya, lembaran nori dan potongan kombu ternyata menyimpan jejak polusi paling halus, paling kecil, namun paling masif di bumi, mikroplastik.

Para peneliti menelusuri perjalanan mikroplastik dari laut hingga meja makan, dengan fokus pada dua spesies rumput laut paling populer: Saccharina japonica (kelp) dan Pyropia yezoensis (nori).Hasilnya mencengangkan: setiap gram rumput laut kering mengandung rata-rata 4–6 partikel mikroplastik, sebagian besar berupa serat halus berukuran di bawah 500 mikrometer yang lebih kecil dari debu yang bisa kita lihat.

Jika dihitung berdasarkan pola konsumsi, seorang warga Tiongkok dapat menelan hingga 17.000 partikel mikroplastik per tahun hanya dari rumput laut. Di Korea Selatan bahkan lebih tinggi. Itu berarti, hingga 45 persen dari total paparan mikroplastik tahunan manusia bisa berasal dari makanan sehat yang kita anggap paling alami ini.

Berbeda dengan ikan yang bisa dibersihkan bagian perutnya, rumput laut biasanya dimakan utuh. Permukaannya yang berlendir dan kaya polisakarida seperti fucoidan justru memudahkan partikel plastik menempel. Dalam proses budidaya, lembaran rumput laut bergesekan dengan jaring, tali nilon, dan wadah plastik yang perlahan terurai menjadi mikroserat. Bahkan proses pengeringan dan pengemasan komersial menambah peluang kontaminasi baru.

Pencucian biasa dengan air dingin hanya mampu mengurangi kurang dari 40% partikel plastik. Artinya, sebagian besar tetap masuk ke tubuh, terutama saat rumput laut kering langsung diseduh atau dibakar tanpa perendaman lama.

Mikroplastik bukan sekadar benda mati. Ia adalah “taksi kimia” yang mengangkut logam berat, pestisida, dan zat aditif berbahaya seperti bisfenol dan ftalat. Di dalam tubuh, partikel ini bisa memicu peradangan, stres oksidatif, bahkan kerusakan DNA.Studi lain yang dikutip Xiao dan koleganya menunjukkan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam plasenta manusia dan feses bayi baru lahir, menandakan rantai polusi ini telah menembus batas biologis paling intim.

Fenomena ini menempatkan rumput laut dalam posisi paradoksal. Di satu sisi, ia disebut superfood masa depan: sumber protein nabati, pangan berkelanjutan, dan solusi iklim karena kemampuannya menyerap karbon laut. Namun di sisi lain, ia menjadi korban dari modernitas yang sama—budaya plastik sekali pakai yang kini menguasai samudra.

Lebih ironis lagi, tren global yang mengangkat rumput laut ke restoran vegan Eropa dan suplemen kesehatan Amerika justru memperluas potensi paparan mikroplastik ke populasi yang sebelumnya jarang mengonsumsinya.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Dari sisi konsumen, langkah sederhana seperti merendam rumput laut dalam air panas lebih lama sebelum dikonsumsi terbukti mampu mengurangi sebagian besar partikel plastik. Dari sisi industri, produsen perlu memperketat standar pembersihan dan pengemasan, serta mengganti tali budidaya plastik dengan bahan alami seperti serat kelapa atau material biodegradable lainnya.

Kebijakan pangan dan lingkungan pun harus saling terhubung. Rumput laut bukan sekadar komoditas kuliner; ia adalah biofilter alami yang merekam jejak polusi laut. Mengawasi kandungan mikroplastik dalam rumput laut berarti juga menjaga kesehatan ekosistem pesisir.

Penelitian ini mengingatkan kita bahwa polusi plastik bukan masalah “di luar sana”, melainkan sudah masuk ke tubuh dan dapur kita sendiri. Laut yang kotor melahirkan pangan yang tercemar—dan tubuh manusia adalah muara terakhir dari setiap serpihan plastik yang kita buang.

Jika laut adalah paru-paru bumi, maka rumput laut adalah jaring halus yang menapis nafasnya. Kini jaring itu robek oleh plastik. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita terpapar mikroplastik, tetapi seberapa banyak plastik yang kini menjadi bagian dari diri kita.