Apakah Konflik Asia Selatan Berakar pada Kebijakan Masa Lalu Inggris?
https://parstoday.ir/id/news/world-i180782-apakah_konflik_asia_selatan_berakar_pada_kebijakan_masa_lalu_inggris
Menteri Pertahanan Pakistan mengatakan bahwa militer negara itu berada dalam kesiapan penuh karena ancaman perang besar-besaran dengan India.
(last modified 2025-11-22T02:26:12+00:00 )
Nov 22, 2025 09:17 Asia/Jakarta
  • Apakah Konflik Asia Selatan Berakar pada Kebijakan Masa Lalu Inggris?

Menteri Pertahanan Pakistan mengatakan bahwa militer negara itu berada dalam kesiapan penuh karena ancaman perang besar-besaran dengan India.

Pakistan menuduh India terlibat dalam serangan yang dilancarkan dari wilayah Afghanistan. Islamabad menegaskan bahwa India tidak berniat menyelesaikan perselisihan dengan Pakistan dan Afghanistan, dan ada kemungkinan Pakistan akan terjebak dalam dua front sekaligus. Menurut Pars Today, Khawaja Muhammad Asif, Menteri Pertahanan Pakistan, mengatakan bahwa militer negara itu mempertahankan tingkat kesiapan tempur tertinggi karena risiko perang besar dengan India.

Melihat sekilas sejarah menunjukkan bahwa pertikaian antara India dan Pakistan sejak lama dikenal sebagai salah satu konflik paling kompleks dan paling berlarut di Asia Selatan, yang akarnya kembali ke era kolonial Inggris.

Inggris sebagai pemicu konflik India–Pakistan

Tanggal 15 Oktober 1947 adalah sebuah tanggal yang aneh dalam sejarah. Tanggal ketika peta Asia Selatan berubah total dengan pembagian India Britania menjadi dua entitas independen; sebuah pembedahan historis yang dilakukan atas nama dekolonisasi, tetapi lukanya tidak pernah sembuh. Kelahiran India dan Pakistan sebagai dua negara bukanlah akhir dari kolonialisme, melainkan awal dari tragedi-tragedi kemanusiaan dan geopolitis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dua negara yang memiliki akar peradaban yang sama itu terlibat dalam empat perang besar (1947, 1965, 1971, 1999) dan puluhan bentrokan berdarah terkait Kashmir, sengketa sumber daya air Sungai Indus dan Chenab, tuduhan terorisme, serta garis batas yang samar. Pengungsian 14 hingga 15 juta orang dan terbunuhnya satu juta jiwa pada hari-hari awal pemisahan menjadi pembuka siklus kekerasan tanpa akhir. Kecurigaan antara New Delhi dan Islamabad hingga kini berubah menjadi permusuhan struktural. Setiap insiden teror di salah satu wilayah—baik pemboman maupun serangan terhadap kereta api—langsung berujung pada saling tuduh.

Pembagian anak benua: warisan kolonial Inggris  

Sejak pertengahan abad ke-18, Inggris melalui Perusahaan Hindia Timur menguasai anak benua India. Kawasan yang kini menjadi India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka itu sangat bernilai bagi Inggris karena sumber daya alamnya yang melimpah, tenaga kerja yang besar, dan posisi strategisnya.

Namun setelah Perang Dunia II (1939–1945), Inggris menjadi sangat lemah. Ekonominya rusak, militernya kelelahan, dan tekanan internal serta internasional untuk mengakhiri kolonialisme meningkat. Pada saat yang sama, gerakan kemerdekaan di India yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi dan Muhammad Ali Jinnah semakin menguat.

Pada tahun 1945, pemerintah Inggris di bawah Perdana Menteri Clement Attlee memutuskan untuk mengakhiri kolonialisme di India. Untuk mengelola proses ini, Lord Louis Mountbatten diangkat sebagai wakil raja terakhir India pada Februari 1947. Mountbatten seharusnya mewujudkan kemerdekaan India pada Juni 1948, tetapi ia menyimpulkan bahwa perbedaan antara Kongres Nasional India dan Liga Muslim tidak dapat diselesaikan dan bahwa pembagian anak benua adalah satu-satunya pilihan.

Mountbatten mengusulkan sebuah rencana yang membagi India menjadi dua negara merdeka: India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim. Pakistan terdiri dari dua bagian: Pakistan Barat (Pakistan saat ini) dan Pakistan Timur (Bangladesh modern). Rencana ini disetujui pada Juni 1947 dan tanggal kemerdekaan ditetapkan pada 15 Agustus 1947.

Salah satu bagian paling sensitif dari pembagian ini adalah penentuan perbatasan kedua negara. Inggris menunjuk Sir Cyril Radcliffe, seorang pengacara Britania, untuk memimpin penentuan batas. Ia tiba di India pada musim panas 1947 dan hanya mendapat beberapa minggu untuk menetapkan perbatasan. Garis yang ia gambar kelak dikenal sebagai “Garis Radcliffe.” Garis itu dibuat berdasarkan komposisi mayoritas agama, tetapi menimbulkan banyak masalah. Misalnya, di Punjab, kota seperti Lahore yang dihuni Hindu, Sikh, dan Muslim diserahkan kepada Pakistan sehingga memicu migrasi dan kekerasan. Di Bengal, wilayah dengan keragaman agama yang kompleks terbagi dengan buruk. Di Kashmir—yang mayoritas penduduknya Muslim namun diperintah penguasa Hindu—statusnya tidak diputuskan dan menjadi sumber konflik utama antara India dan Pakistan.

Ayesha Jalal, sejarawan keturunan Pakistan, dalam bukunya “The Pity of Partition” menulis tentang kekerasan yang muncul akibat pembagian ceroboh ini yang dilaksanakan berdasarkan rancangan Inggris: “Manusia menetapkan hukum untuk mencegah pembunuhan dan kekacauan demi membedakan diri dari binatang buas, tetapi tidak satu pun dari hukum itu dipatuhi dalam pembantaian mengerikan yang mengguncang India hingga ke akar pada ambang kemerdekaannya.”(PH)