Mengenal Perempuan Dalam Al-Quran (9)
Setelah menyimak tentang kisah istri Nabi Luth as, kini giliran memahami istri Nabi Nuh as dari al-Quran.
Di masa kehidupan Nabi Nuh as, korupsi menyebar di bumi sehingga orang-orang berpaling dari agama tauhid dan keadilan dan kembali menyembah berhala. Kesenjangan kelas secara bertahap meningkat. Mereka yang kuat menginjak-injak hak-hak mereka yang lebih lemah dan penguasa semakin melemahkan mereka yang berada di bawahnya. Dalam kondisi yang seperti ini, Allah mengutus Nuh sebagai nabi-Nya dan mengirimnya ke tengah masyarakat bersama sebuah kitab samawi dan syariat untuk mengajak mereka ke agama tauhid dan meninggalkan para berhala serta menegakkan persamaan di antara mereka.
Nabi Nuh as menemui kaumnya, "(yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui."
Nuh adalah nabi Ulul Azmi pertama yang bangkit untuk tauhid dan melawan penyembahan berhala. Nuh berasal dari keluarga yang tinggal di kota dan nama istrinya adalah Waghilah. Sekalipun menjaga kehormatan dirinya, tapi Waghilah memiliki perilaku yang tidak baik, yang membuat al-Quran menyalahkannya. Istri Nabi Nuh membawa rahasia di rumah ke luar lalu mengadukan suaminya kepada siapa saja.
Waghilah adalah seorang kafir dan tidak beriman kepada Allah Yang Esa serta berada di bawah penyimpangan pemikiran masyarakat yang berada di sekelilingnya. Ia menolak Allah yang Maha Kuasa sebagai pencipta alam dan menolak nasihat dan peringatan Nabi Nuh as.
Kisah istri Nabi Nuh menggambarkan lingkungan sosial ternyata tidak seratus persen mempengaruhi pendidikan agama seseorang dan manusia memiliki hak memilih dan kehendak sebagai faktor paling menentukan dan bergerak berbeda dari lingkungan dan kondisi sosial. Dengan ungkapan lain, perilaku setiap manusia yang memilih sesuatu dengan sadar dan kehendaknya itulah yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraannya. Sekalipun istri Nabi Nuh as berada di pusat hidayah, tapi dengan pilihan yang tidak benar, ia telah meletakkan dirinya di jalur kebinasaan.
Pada zaman Nuh as, orang-orang berada dalam kelalaian dan ketidaktahuan, mereka tidak berpikir tentang filosofi penciptaan dan penciptaan mereka, juga tidak merasa malu dengan kepercayaan takhayul dan perbuatan buruk mereka. Bertahun-tahun lewat. Selama tahun-tahun ini, jumlah mereka yang menjadi pengikut Nuh dan menerima dakwahnya tidak mencapai ratusan! Istri Nuh bersama masyarakat tetap pada kekufuran dan ketidaktaatan. Bahkan ketika mendatangi masyarakat, ia justru memperingatkan mereka agar tidak menerima dakwah Nuh, suaminya. Ia mengatakan, "Nuh sudah tua dan kekuatan berpikirnya sudah hilang!"
Dengan demikian, Nuh bukan saja tersiksa dengan kaumnya yang menyimpang, tapi ucapan istrinya lebih menyakitkan dirinya. Padahal bila dibanginkan orang lain, istrinya lebih banyak berada di bawah sinar mentari risalah Nuh as dan setiap harinya mendapat siraman rohani, tapi patut disayangkan bahwa ia risalah suaminya tidak menciptakan penerangan di dalam jiwanya yang tidak suci. Bila seseorang mempertahankan kesucian fitrahnya dan selalu berusaha mencari kesempurnaan, ia dapat melangkah di jalur kebenaran dan kebahagiaan dan menjadi pendukung terbaik bagi suaminya. Tapi ia selalu melemahkan suaminya, seorang hamba yang dipilih Allah dan memilih untuk menjauh dari jalur hidayah.
Salah satu tujuan penting pernikahan adalah terciptanya ketenangan di antara suami dan istri. Adanya keasikan dan keakraban dalam keluarga petanda keberhasilan pernikahan dalam meraih tujuan utamanya dan efeknya adalah suami dan istri keduanya melaksanakan kewajibannya terhadap satu sama lain.
Sementara itu, mengingat adanya emosi yang sangat kuat pada perempuan, peran mereka dalam memberikan kesehatan mental keluarga lebih mencolok. Seorang perempuan dapat mengubah kejiwaan suaminya yang lelah dan frustrasi dalam menghadapi masalah, atau setidaknya menjadi tempat bersandar atas ketidaknyamanan dengan kesabarannya. Begitu juga istri dapat berperan efektif dalam melemahkan semangat suaminya dan menyebabkan melemahnya sistem keluarga.
Ketika kegelapan kufur mendominasi tingkat eksistensial manusia dan merendahkan kemanusiaan bawaannya dan senantiasa mencari Tuhan, dikhawatirkan bahwa faktor eksternal yang terkuat tidak akan mampu menghilangkan kegelapan material dari jiwa manusia. Kisah istri Nabi Nuh menjelaskan kebenaran yang pahit ini. Dalam surat al-Tahrim ayat 10, dijelaskan tentang istri Luth, selain istri Nabi Nuh. "Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)."
Ayat ini menerangi karakter orang-orang kafir dalam kebrutalan dan kehancuran, dengan mengatakan, "Jika kondisi istri Nuh atau Luth demikian, karena pengkhianatan mereka kepada Allah dan utusan-Nya dan akhir pengkhianatan terhadap Tuhan dan Rasul sperti ini." Siapa pun yang melakukan pengkhianatan semacam itu akan berakhir menyedihkan, sekalipun ia berafiliasi dengan para nabi.
Keteladanan dan karakternya juga ada yang positif dan ada yang negatif. Ciri khas terbesar yang disebutkan untuk perempauan jahat dalam al-Quran adalah pengkhianatan. Istri Nuh adalah seorang perempuan yang berada di inti dari wahyu dan di sebelah nabi yang sabar. Tetapi pada saat yang sama, sangat asing dengan ajaran ilahi sehingga ia disebut sebagai pengkhianat.
Dia mengacaukan posisi dirinya sebagai istri dan menuduh pria hebat itu gila kepada orang lain. Al-Quran menunjukkan bahwa perempuan ini adalah istri nabi, tapi berkhianat, sehingga berusaha menutup jalan kejabian dan berusaha membungkam cahaya yang benar. Dia bendera ketidakkonsistenan dan keras kepala dan karenanya berada di neraka.
Akhirnya, seorang perempuan yang tumbuh dengan bibit keimanan dapat menjadi pendukung Nabi Allah yang terbaik, menjadi musuh Nabi Nuh karena telah terbenam dalam pelbagai faktor seperti ketidaktahuan dan takhayul dan menderita hukuman abadi. Kapanpun seseorang - bahkan dalam posisi seorang istri hamba yang saleh dari Tuhan, tidak menghiraukan dirinya sendiri, dan rutinitas sehari-hari dan upaya materi menjadi tujuannya, maka dimensi maknawi dan spiritualnya akan dilupakan, hubungan dengan Allah akan sepenuhnya terputus, atau hubungan akan berada dalam bentuk yang murni formal dan tanpa semangat dan isi.
Istri Nuh layak menerima azab ilahi sebagai salah satu dari orang-orang kafir, yang kekufuran dan kekotoran syirik telah mengakar dalam dirinya. Setelah bertahun-tahun berjuang dan mengajak masyarakat kepada Allah serta menyempurnakan hujjah kepada mereka, Nabi Nuh akhirnya putus asa untuk membimbing mereka. Beliau kemudian mengutuk umatnya dan kemudian Allah memerintahkannya untuk membangun kapal.
Istri Nuh telah dicontohkan kepada manusia yang jahat baik laki-laki maupun perempuan agar menjadi jelas bahwa kehadiran fisik di pusat para nabi ilahi tanpa kepercayaan pada mereka bukanlah tali yang dapat dipegang untuk menyelamatkan diri dari azab ilahi, tetapi apa pun yang terjadi kembali pada pilihan seseorang yang dapat membuatnya diazab atau justru membebaskannya. Jadi, setiap orang harus dengan berhati-hati dan teliti dalam mempertimbangkan kepercayaan dan pemikiran mereka, dan merefleksikan kedalaman dan kebijaksanaan dari apa yang mereka rasakan.