RUU Reformasi Peradilan Disahkan, Israel di Ambang Konflik dan Perang
Koalisi penguasa sayap kanan rezim Zionis Israel mengesahkan bagian pertama dari Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dikenal sebagai reformasi peradilan di Knesset.
Pengesahan ini terjadi meskipun ada tuntutan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan para pendukung Israel di Amerika terkait hal ini, serta penolakan dan protes dari para pemimpin oposisi dan publik di Palestina pendudukan (Israel).
Pada Senin (24/7/203) sore, undang-undang reformasi peradilan yang diusulkan oleh kabinet Perdana Menteri rezim Zionis Benjamin Netanyahu akhirnya disetujui oleh perwakilan Knesset dengan 64 suara setuju. 56 anggota partai oposisi memboikot pertemuan Knesset untuk memberikan suara pada RUU tersebut.
Selama pemungutan suara, perwakilan oposisi meninggalkan Knesset dan hanya perwakilan koalisi pemerintahan Netanyahu yang hadir dalam pertemuan ini. Setelah pengesahan RUU ini, Mahkamah Agung tidak lagi memiliki hak untuk memveto keputusan pemerintah dan Knesset, dan keputusan administratif atau menolak penunjukan beberapa menteri atau perdana menteri karena berbagai kasus.
Persetujuan atas RUU ini adalah langkah pertama dalam mengurangi kewenangan peradilan Israel. Menurut persetujuan RUU ini, sistem peradilan Zionis tidak lagi memiliki hak untuk membatalkan keputusan pemerintah dan para menteri Israel dengan dalih tidak masuk akal.
Sebelumnya, Mahkamah Agung Israel memiliki hak untuk membatalkan resolusi Knesset jika dianggap "tidak masuk akal", tetapi dengan resolusi dan keputusan Knesset, kriteria tidak masuk akal telah diubah dan keweangan Mahkamah Agung telah berkurang secara signifikan.
Mahkamah Agung Israel, --dengan kewenanganya yang luas untuk menangani pengaduan perorangan dan badan hukum terhadap resolusi Parlemen dan pemerintah-- biasanya ditampilkan sebagai penjamin demokrasi dan sekularisme Yahudi, dan karena alasan ini, para penentang RUU reformasi peradilan menganggap pemerintah Netanyahu sebagai penyebab kehancuran demokrasi Israel.
Bagian lain dari RUU reformasi peradilan menarget cara pemilihan Hakim Agung. Koalisi sayap kanan yang berkuasa di Israel berusaha menekankan peran Knesset dan pemerintah dalam pengangkatan hakim, sementara lawan mereka menafsirkan tindakan ini sebagai kontrol pemerintah atas sistem peradilan dan setara dengan kediktatoran mayoritas.
Para penentang RUU tersebut tidak melihat adanya motivasi nasional dan positif di balik perubahan ini. Mereka menyakini bahwa partai sayap kanan berusaha untuk menstabilkan posisi politik mereka dan menciptakan kekebalan hukum atas perilaku ilegal mereka dengan perubahan yang dibuat.
Para pengkritik meyakini bahwa motivasi utama Netanyahu untuk reformasi ini adalah menutup kasus korupsi pribadinya karena takut dijatuhi hukuman penjara. Para pengamat asing juga menyakini hal tersebut.
Dengan disetujuinya bagian pertama dari RUU reformasi yudisial, kontradiksi dan konflik di seluruh masyarakat dan lembaga pemerintahan Israel akan mencapai puncaknya, dan kekhawatiran atas meletusnya perang saudara dan bahkan hancurnya Israel membayangi lingkaran internal orang-orang Yahudi.
Setelah pengumuman pengesahan undang-undang kontroversial ini dan ketika perwakilan yang menang sibuk mengambil foto kenang-kenangan, ketegangan dan konflik dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah pendudukan Palestina.
Situs web Sama, mengutip sumber-sumber Zionis, melaporkan bahwa ribuan pengunjuk rasa mengepung gedung Knesset dan bentrok dengan polisi menyusul persetujuan RUU tersebut.
Jalan Ayalon di Tel Aviv, yang menurut polisi di luar kendali, diblokir oleh para pengunjuk rasa. Meski berjam-jam telah berusaha, polisi tidak bisa membuka jalan ini. Gambar-gambar menunjukkan bahwa polisi dan pengunjuk rasa terlibat bentrokan berdarah, dan pengunjuk rasa membakar ban-ban bekas di jalan raya setelah menutupnya.
Empat demonstran terluka akibat ditabrak mobil di rute 531 di Tel Aviv. Channel Zionis, Kan mengumumkan bahwa pengemudi mobil tersebut adalah pendukung sayap kanan dan pendukung rencana reformasi yudisial.
Setelah persetujuan akhir dari rencana reformasi yudisial, Histadrut (Organisasi Umum Pekerja di Israel) mengumumkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan opsi pemogokan nasional oleh para pekerja.
Kepala polisi Israel mengumumkan bahwa pihaknya akan berusaha mencegah pendudukan gedung Knesset oleh para pengunjuk rasa.
Ehud Olmert, mantan PM rezim Zionis, menyatakan bahwa Israel sedang bergerak menuju perang saudara. Dalam wawancara dengan Channel 4 televisi Inggris, Olmet menyinggung situasi tegang di wilayah pendudukan.
Dia mengatakan, ada sebuah ancaman dan ancaman ini adalah ancaman yang sangat serius dan belum pernah terjadi sebelumnya, yakni kita sedang menuju ke perang saudara.
Jika Mahkamah Agung Israel menolak keputusan Knesset untuk membatasi kewenangan lembaga peradilan ini, dan jika terjadi konflik dan ketegangan antara pengadilan dan parlemen, maka kudeta militer terhadap Netanyahu akan mungkin terjadi.
Pilot dan pasukan cadangan Israel telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi bertugas di bawah "rezim diktator" jika RUU itu disahkan.
Kurangnya independensi Mahkamah Agung Israel memiliki makna yang jelas, yaitu bahwa semua perwira militer Israel terancam diadili di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag.
Protes kemungkinan besar akan meluas, kerusuhan meningkat, dan mungkin juga akan terjadi pemberontakan. Tingkat konfrontasi internal dimungkinkan terus meningkat, dan penggunaan alat teror terhadap tokoh-tokoh politik berpengaruh, juga mungkin akan menjadi nasib Israel dalam beberapa bulan mendatang.
Ada juga kemungkinan bahwa Netanyahu akan memproyeksikan krisis dengan memicu ketegangan bahkan perang. Yang pasti, skenario dan kemungkinan apa pun di atas, jika menjadi kenyataan, akan memiliki konsekuensi tak terduga bagi keberadaan rezim Zionis. (RA)