Menelisik Krisis Hubungan Rusia dan Zionis Israel di Perang Ukraina
Pernyataan menteri luar negeri Israel tentang perang Ukraina telah memicu kritik keras Rusia terhadap Tel Aviv dan Moskow memberikan tanggapan cepat yang menyebabkan krisis dalam hubungan diplomatik antara kedua belah pihak.
Pada hari Minggu (17/04/2022), Kementerian Luar Negeri Rusia memanggil duta besar Zionis Israel untuk Moskow, Alexander Ben Zvi, sebagai tanggapan atas pernyataan baru-baru ini oleh Menteri Luar Negeri, Yair Lapid. Duta Besar Zionis dijadwalkan hadir di Kementerian Luar Negeri Rusia pada Senin (18/4).
Langkah itu dilakukan di tengah ketegangan politik dan diplomatik Rusia dengan rezim Zionis, terutama sejak rezim Israel baru-baru ini memilih untuk menangguhkan Rusia dari keanggotaan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Pada hari Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri Zionis Israel Yair Lapid setelah pertemuan dengan menteri luar negeri Yunani dan Siprus di Athena mengklaim bahwa Rusia telah melakukan kejahatan perang di Ukraina.
Tuduhan itu muncul ketika rezim Zionis Israel sendiri telah berulang kali menghadapi tuduhan serius dari organisasi dan lembaga hak asasi manusia, termasuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB, atas pembunuhan anak dan serangan terhadap rakyat Palestina.
Mengkritik pernyataan Lapid, Kementerian Luar Negeri Rusia menekankan, "Pernyataan ini adalah upaya yang hampir jelas untuk mengeksploitasi situasi di Ukraina demi mengalihkan masyarakat internasional dari konflik Palestina-Israel, yang merupakan salah satu konflik tertua yang belum terselesaikan."
Kemenlu Rusia menuduh rezim Zionis terus melanggar resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB dengan terus menduduki dan mencaplok wilayah Palestina ke wilayah Palestina Pendudukan.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengolok-olok rezim Zionis karena sejarah panjangnya menindas dan membunuh warga Palestina, terutama di wilayah pendudukan 1967, dan serangan militer Israel baru-baru ini di Masjid al-Aqsa, yang melukai sekitar 160 orang dan menangkap sekitar 400 warga Palestina.
Pernyataan menteri luar negeri Israel tentang perang Ukraina telah memicu kritik keras Rusia terhadap Tel Aviv dan Moskow memberikan tanggapan cepat yang menyebabkan krisis dalam hubungan diplomatik antara kedua belah pihak.
Rezim Zionis telah mengklaim pasukan Rusia bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan di Ukraina, padahal belum ada komisi penyelidikan internasional yang dibentuk untuk menyelidiki tuduhan itu terhadap Rusia.
Menariknya, tidak ada kesepakatan teoretis antara pejabat senior Zionis Israel tentang perang Ukraina.
Dalam hal ini, tidak seperti Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, yang berusaha menengahi antara Moskow dan Kiev, Yair Lapid telah berulang kali mengutuk operasi militer Rusia di Ukraina.
Di sisi lain, Tel Aviv yang dulu menjalin hubungan persahabatan dengan Moskow, kini rezim penjajah Palestina harus mempertimbangkan tekanan dari Amerika Serikat dan juga untuk menunjukkan solidaritas Volodymyr Zelensky, Presiden Yahudi Ukraina, yang berulang kali meminta Tel Aviv selalu bersama Kiev.
Tel Aviv terpaksa untuk meninggalkan netralitas dan bergabung dengan kampanye anti-Rusia skala besar Barat yang dipimpin AS untuk melawan Rusia dan menjatuhkan sanksi terhadap Moskow.
Dalam hal ini, posisi Menteri Luar Negeri Israel pada masalah yang sangat sensitif, yaitu menuduh Rusia melakukan kejahatan perang di Ukraina, dapat menyebabkan ketegangan dan kedinginan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hubungan antara Moskow dan Tel Aviv.

Dalam kondisi seperti ini, diharapkan bahwa Rusia akan mengambil sikap baru dalam menghadapi serangan udara dan rudal berulang rezim Zionis terhadap Suriah, dan akan menentangnya atau bahkan menyediakan peralatan pertahanan udara ke Suriah untuk melawan serangan ini.
"Tidak berlebihan untuk mengatakan lebih dari sekali bahwa Zionis Israel akan menjadi salah satu pecundang utama dalam krisis Ukraina. Masalah ini bukan hanya dalam hubungannya dengan Rusia, tetapi juga karena mungkin saja krisis ini menjadi awal dari berakhirnya hegemoni Amerika yang telah memeliharanya selama ini," kata Abdel Bari Atwan, analis terkenal Arab.(sl)