Menelisik Alasan Sekjen PBB Mengecam Keras Pendudukan Israel
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan tentang operasi Hamas pada tanggal 7 Oktober melawan rezim Zionis, “Serangan ini dilakukan dalam konteks 56 tahun ‘pendudukan yang mencekik’.”
Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada hari Selasa (24/10/2023) meminta perhatian terhadap latar belakang yang menyebabkan operasi 7 Oktober melawan rezim Zionis.
Dia mengatakan, Serangan ini tidak terjadi dalam kekosongan... dan rakyat Palestina telah berada di bawah pendudukan yang menyesakkan selama 56 tahun.
“Serangan 7 Oktober tidak membenarkan pembantaian yang terjadi di Gaza,” kata Guterres.
Gerakan perlawanan Islam Palestina, Hamas, menyerang wilayah sekitar Jalur Gaza pada Sabtu, 7 Oktober, dalam operasi kejutan Badai al-Aqsa. Sementara rezim Zionis, terus membombardir Gaza sejak hari itu.
Dua hari setelah operasi Hamas, Tel Aviv mengumumkan, Mereka telah mengepung Gaza sepenuhnya dan setelah memutus aliran air dan listrik kepada masyarakat, dan melarang masuknya bahan bakar ke daerah ini.
Sikap transparan Sekretaris Jenderal PBB mengenai 56 tahun pendudukan rezim Zionis atas Tepi Barat dan Jalur Gaza selama perang Arab-Israel bulan Juni 1967 dan kelanjutan pendudukan ini meskipun ada permintaan eksplisit dari Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 242 untuk mengakhiri pendudukan daerah-daerah itu oleh Israel.
Dari sudut pandang Guterres, kelanjutan pendudukan serta tindakan ilegal dan tidak manusiawi rezim Zionis, seperti perampasan tanah, pengusiran warga Palestina dari tanah pendudukan pada tahun 1967, dan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat Palestina yang diduduki, upaya nyata rezim tersebut untuk terus membangun pemukiman di Tepi Barat dan pembunuhan harian warga Palestina mendapat tanggapan keras dari masyarakat Palestina.
Faktanya, berlanjutnya situasi ini, tekanan yang bertambah serta meningkatnya pembatasan terhadap rakyat Palestina telah menimbulkan reaksi kelompok perlawanan berupa operasi Badai Al-Aqsa dalam rangka melawan pendudukan Zionis Israel demi menegaskan hak-hak rakyat Palestina.
Posisi Sekjen PBB mengenai pendudukan Israel sebagai alasan utama operasi Hamas baru-baru ini telah membuat marah rezim Zionis dan menimbulkan reaksi tajam dari para pejabat senior rezim ini.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan tentang operasi Hamas pada tanggal 7 Oktober melawan rezim Zionis, “Serangan ini dilakukan dalam konteks 56 tahun ‘pendudukan yang mencekik’.”
Gilad Erdan, Wakil Tetap Zionis di PBB menuntut agar Antonio Guterres segera mengundurkan diri dari jabatannya dan mengatakan, Dia tidak layak memimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menteri Luar Negeri Zionis Eli Cohen juga mengatakan, Setelah ucapan Guterres, saya telah membatalkan pertemuan dengan Sekjen PBB.
“Saya tidak akan bertemu dengan Sekretaris Jenderal Guterres. Setelah pembantaian 7 Oktober, tidak ada ruang untuk pendekatan yang seimbang. Hamas harus dilenyapkan dari muka bumi,” tulis Cohen dalam pesannya di X.
Reaksi pasif para pejabat Zionis ini menunjukkan kebingungan ekstrem mereka atas sikap Sekretaris Jenderal PBB yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap konflik Palestina.
Guterres, bertentangan dengan posisi para pemimpin Barat, terutama AS, yang terus-menerus menyebut kelompok perlawanan Palestina sebagai teroris dan menekankan apa yang disebut sebagai hak sah rezim Zionis untuk mempertahankan diri, tetapi untuk masalah ini, ia menekankan bahwa operasi bersenjata Hamas adalah respons terhadap 56 tahun kehidupan warga Palestina di bawah pendudukan yang menyesakkan.
Patut dicatat bahwa secara bertahap mendukung Palestina dan mengutuk rezim Zionis telah menjadi wacana dominan di tingkat global.
Dalam hal ini, dua kekuatan internasional non-Barat, yaitu Rusia dan Cina, mengambil posisi berbeda dari Barat mengenai perkembangan terkini di Palestina yang diduduki dan menyerukan gencatan senjata dalam perang Gaza, sementara Amerika Serikat dan Inggris menentang gencatan senjata apa pun di Gaza.
Faktanya, dengan perubahan bertahap dalam tatanan global dan multipolarnya, wacana dan narasi Zionis-Barat tentang masalah Palestina tidak lagi mendapat tempat, dan pendekatan baru yang didasarkan pada perlunya menghormati hak-hak bangsa Palestina secara bertahap menggantikannya.(sl)