Pengesahan Resolusi DK Soal Gaza, Langkah Perlu tapi Tidak Cukup
Pada hari Jumat (22/12/2023), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk meningkatkan bantuan ke Gaza tanpa menyerukan gencatan senjata. Amerika Serikat dan Rusia, dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB abstain dalam resolusi ini, sementara 13 anggota lainnya setuju dengan resolusi tersebut.
Menjelaskan resolusi yang disetujui, perwakilan UEA di PBB mengatakan, Resolusi yang diajukan oleh UEA menyerukan peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza dan penunjukan koordinator kemanusiaan untuk memfasilitasi kedatangan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Amerika Serikat memveto permintaan Rusia untuk memasukkan klausul “penghentian permusuhan segera dan permanen” dalam teks resolusi ini.
Moskow menggambarkan tindakan Washington sejalan dengan upayanya untuk memastikan pembunuhan rakyat Palestina oleh Zionis Israel.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya mengatakan, Washington memainkan permainan jahat dengan memasukkan izin pembunuhan warga sipil Palestina oleh Israel.
Meskipun menolak resolusi Dewan Keamanan, Gilad Erdan, Wakil Tetap Zionis di PBB, mengklaim bahwa fokus PBB pada mekanisme bantuan untuk Gaza tidak diperlukan dan jauh dari kenyataan.
Sebaliknya, Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) menggambarkan resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Gaza sebagai “langkah yang tidak memadai” untuk mengakhiri konflik dan menangani krisis kemanusiaan di Gaza.
Hamas mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa Dewan Keamanan mempunyai tugas untuk "memastikan kedatangan bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang cukup ke seluruh wilayah Jalur Gaza, terutama di wilayah utara".
Kelompok Hamas juga mengatakan bahwa resolusi Dewan Keamanan seharusnya menyerukan penghentian segera serangan brutal militer Zionis di Gaza.
Persetujuan resolusi ini terjadi sementara pemungutan suara ditunda empat kali dalam beberapa hari terakhir.
Akhirnya, perwakilan AS mengumumkan pada hari Jumat bahwa dia siap untuk memberikan suara pada teks revisi yang baru.
Sejak dimulainya serangan Zionis di Jalur Gaza pada 7 Oktober, Washington mendukung penuh operasi militer dan pemboman Jalur Gaza yang dilakukan rezim Zionis.
Dalam dimensi politik dan diplomasi, AS telah memveto beberapa resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza dan memberikan lampu hijau terhadap kelanjutan serangan tersebut dengan dalih hak rezim Zionis untuk mempertahankan diri.
Sementara itu, aktivis hak asasi manusia dan sejumlah pegawai lembaga seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keamanan Dalam Negeri, dan bahkan pegawai Gedung Putih telah berulang kali meminta Biden untuk menekan Tel Aviv agar mengakhiri serangan yang menyebabkan kematian dan melukai ribuan warga Gaza, di mana kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Pada hari Jumat (22/12/2023), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk meningkatkan bantuan ke Gaza tanpa menyerukan gencatan senjata. Amerika Serikat dan Rusia, dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB abstain dalam resolusi ini, sementara 13 anggota lainnya setuju dengan resolusi tersebut.
Kini, meski kebuntuan pengambilan resolusi di Dewan Keamanan PBB terkait perang Gaza akhirnya terpecahkan, tapi persoalan mendasar yang mengharuskan rezim Zionis melakukan gencatan senjata dalam perang Gaza terabaikan.
Hal ini sejalan dengan mematuhi syarat AS yang tidak sah dan menindas, yaitu tidak memasukkan permintaan gencatan senjata dalam setiap rancangan resolusi untuk disetujui atau abstain dalam resolusi Dewan Keamanan.
Tentu saja isu ini mendapat kecaman dan protes dari anggota Dewan Keamanan dan berbagai organisasi hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, Vasily Nebenzya, perwakilan tetap Rusia untuk PBB, mengumumkan bahwa Moskow tidak memveto resolusi kemanusiaan baru Dewan Keamanan PBB mengenai Jalur Gaza hanya karena solidaritasnya dengan negara-negara Arab.
Secara khusus, Moskow mengusulkan untuk memasukkan klausul untuk "penghentian permusuhan segera dan abadi", yang diveto oleh Washington.
Organisasi-organisasi HAM juga mengkritik diadopsinya resolusi Dewan Keamanan PBB yang tidak menyerukan gencatan senjata di Gaza.
Menanggapi diadopsinya resolusi ini, Jason Lee, CEO Save the Children mengatakan bahwa tindakan apa pun selain menyerukan gencatan senjata hanya akan menambah penderitaan akibat pembunuhan, penyakit, dan kelaparan anak-anak Gaza.
Oxfam juga menyatakan bahwa kurangnya dukungan terhadap gencatan senjata setelah penundaan pemungutan suara di Dewan Keamanan selama lima hari adalah “tidak dapat dipahami dan sepenuhnya tidak berperasaan”.
Komite Penyelamatan Internasional (IRC) juga mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa meskipun menyambut baik diadopsinya resolusi untuk meningkatkan bantuan ke Gaza, “jelas masih banyak yang harus dilakukan”.
Organisasi ini mengumumkan dalam pernyataannya, Landasan tindakan Dewan Keamanan haruslah Piagam PBB dan hukum internasional. Konflik-konflik ini jelas merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, dan hak-hak warga sipil berdasarkan hukum internasional telah diabaikan.
Meskipun telah disetujuinya resolusi Dewan Keamanan baru-baru ini, yang secara eksplisit ingin memfasilitasi dan meningkatkan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Gaza, tapi rezim Zionis, dengan lampu hijau dan dukungan politik dan militer dari AS, serta merasa pasti mendapat dukungan Washington atas resolusi apa pun yang menghalangi tindakan kriminal rezim ini terhadap rakyat Palestina menciptakan hambatan atau pembatasan dan terus membunuh secara brutal rakyat Gaza.(sl)