Kemenangan Partai Konservatif dan Nasib Brexit
https://parstoday.ir/id/radio/world-i76595-kemenangan_partai_konservatif_dan_nasib_brexit
Isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Brexit, telah menjadi masalah terbesar di negara itu sejak abad ke-17. Perdana Menteri Inggris dari kubu Konservatif, Boris Johnson yang selama ini menjadi pendukung garis keras Brexit menegaskan negaranya akan keluar dari Uni Eropa, dengan maupun tanpa kesepakatan bersama dengan pihak Uni Eropa.
(last modified 2025-10-07T09:39:18+00:00 )
Des 15, 2019 18:09 Asia/Jakarta
  • Boris Johnson
    Boris Johnson

Isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Brexit, telah menjadi masalah terbesar di negara itu sejak abad ke-17. Perdana Menteri Inggris dari kubu Konservatif, Boris Johnson yang selama ini menjadi pendukung garis keras Brexit menegaskan negaranya akan keluar dari Uni Eropa, dengan maupun tanpa kesepakatan bersama dengan pihak Uni Eropa.

Penentangan dari kubu oposisi di Majelis Rendah Inggris terhadap Jonhson yang menyebabkan kegagalannya untuk mewujudkan hasil referendum Brexit pada tanggal 31 Oktober, dan pemberian tenggat waktu untuk keluar dari Uni Eropa hingga 31 Januari 2020. Selain itu Majelis Rendah Inggris menyetujui digelarnya pemilu dini pada 12 Desember 2019.

Hal ini tentu saja akan menjadi pertaruhan besar bagi masa depan politik Johnson. Selama kampanye, ada dua putaran perdebatan antara Johnson dan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbin sebagai partai oposisi utama. Di ajang ini keduanya akan mengekspresikan pandangan dan program mereka jika memenangkan pemilu parlemen dini. Secara khusus, Johnson berjanji untuk mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020.

Pemilu parlemen dini diadakan dalam situasi ketika masalah Brexit adalah fokus utama kampanye pemilu. Partai Konservatif yang dipimpin Johnson menyuarakan supaya Brexit dijalankan sesuai dengan perjanjian terbaru antara Johnson dengan Uni Eropa.

Namun, para penentang melihat masalah ini akan membahayakan keamanan perbatasan Inggris dan bertentangan dengan kepentingan nasional. Friksi ini menyebabkan Johnson menulis surat untuk meminta Uni Eropa memperpanjang batas waktu implementasi Brexit. Dalam surat itu, Johnson menyerukan pemilu dini. Partai Konservatif dalam kampanye pemilunya juga menekankan masalah pemilu dini. Johnson dan partai Konservatif menekankan bahwa Brexit akan dieksekusi berdasarkan kesepakatan atau tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa.

 

 

Brexit

Akhirnya, pada hari Kamis 12 Desember digelar pemilu yang dimenangkan partai Konservatif Inggris. Johnson memenangkan mayoritas kursi di parlemen dengan meraih suara 365 dari 650 kursi di Majelis rendah. Dengan demikian, tanpa perlu koalisi, partai konservatif akan memimpin pemerintahan selama lima tahun mendatang.

Sementara itu, Partai Buruh menderita kekalahan dengan hasil pemilu terburuk dalam 84 tahun terakhir, dan kehilangan 59 kursi dan hanya mendapatkan 203 kursi. Menyusul kekalahan telak Partai Buruh, Jeremy Corbyn telah mengumumkan dirinya akan mundur dan tidak akan menjadi pemimpin Buruh dalam pemilu berikutnya.

Sementara itu, Partai Nasional Skotlandia memenangkan 14 kursi tambahan di Majelis Rendah menjadi 48 kursi. Kemenangan ini menunjukkan  sebagian besar warga Skotlandia Skotlandia tidak ingin meninggalkan Uni Eropa.

Partai Demokrat Liberal kehilangan satu kursi di Parlemen Inggris dengan hanya meraih 11 kursi. Partai kelima dalam pemilu baru-baru ini adalah Partai Uni Demokratik (DUP) yang kehilangan dua kursi dibandingkan dengan  pemilu parlemen sebelumnya dengan perolehan delapan kursi. Adapun kubu independen dalam meraih 4 kursi, naik dari dua kursi  dari pemilu sebelumnya.

Reaksi pihak asing terhadap kemenangan partai Konservatif dalam pemilu Inggris sangat berbeda. Presiden AS Donald Trump di akun Twitternya memberi selamat kepada Johnson atas kemenangannya  dengan menulis, "Kini AS dan Inggris dapat dengan bebas mencapai perjanjian perdagangan baru yang lebih luas setelah terpilih." Presiden AS juga menegaskan bahwa kesepakatan itu akan lebih menguntungkan dan lebih besar daripada kesepakatan apa pun dengan Eropa. 

 

Donald Trump  dan Boris Johnson

 

Suara senada juga datang dari Perdana Menteri Rezim Zionis Israel, Benjamin Netanyahu di akun Twitternya yang menggambarkan kemenangan Johnson sebagai hari yang baik bagi rakyat Inggris dan hubungan Israel dengan London.

Reaksi positif Trump dan Netanyahu terhadap kemenangan partai Konservatif dalam pemilu parlemen Inggris dapat diprediksi karena Trump sejak awal menjadi pendukung kuat Brexit, dan secara konsisten mendukung Johnson. Netanyahu juga menyambut kemenangan Johnson, sebab pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn berjanji akan mengakui Palestina sebagai negara merdeka. 

Reaksi dari pihak Eropa menyikapi kemenangan Johnson berbeda-beda. Presiden Prancis Emmanuel Macron bereaksi secara hati-hati terhadap kemenangan Boris Johnson. meskipun menyampaikan ucapan selamat atas kemenangannya, tapi menyerukan proses pelaksanaan Brexit secara  transparan, dengan mengatakan, "Sekarang adalah waktunya untuk transparansi." Presiden Dewan Eropa Charles Michel juga mengadopsi reaksi Prancis yang sama terhadap kemenangan Johnson, dengan menekankan bahwa transparansi pentingdalam implementasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Kemenangan partai Konservatif yang dipimpin oleh Boris Johnson menjadi kemenangan bersejarah bagi partai ini sejak era Margaret Thatcher. Johnson berhasil mengumpulkan semua pendukungnya di belakang partai konservatif. Di sisi lain, kubu oposisi tersebar di berbagai partai mulai dari partai Buruh hingga partai Nasionalis Skotlandia, Demokrat Liberal dan Hijau yang tidak satu suara.

Masalah lain mengenai sikap rakyat Inggris yang sudah lelah dengan kebuntuan berkelanjutan atas ketidakpastiannya dalam masalah Brexit.  Tampaknya, krisis ekonomi Inggris dan ketidakpastian mengenai status brexit menyebabkan banyak pihak menuntut diakhirinya kondisi tersbeut. Kemenangan telak partai Konservatif bahkan tidak terduga oleh mereka sendiri, yang memberikan Johnson kepercayaan diri lebih besar untuk menarik keluar negaranya dari Uni Eropa sesegera mungkin.

Dia sekarang memiliki satu setengah bulan lagi untuk melewati fase keluar pertama meninggalkan Uni Eropa. Tetapi kemudian muncul tantangan utama Johnson mengenai kesepakatan dengan mitra Eropa dalam masalah peraturan bea cukai dan perdagangan luar negeri yang statusnya masih belum jelas.

 

Nicola Sturgeon

Meskipun partai Konservatif berhasil memenangkan pemilu parlemen, tetapi kurang dari beberapa jam setelah pengumuman hasilnya yang dimenangkan partai konservatif dan pendukung mereka, Partai Nasional Skotlandia meraih posisi ketiga. Menteri Pertama Skotlandia, sekaligus Pemimpin Partai Nasional Skotlandia, Nicola Sturgeon, mengatakan Skotlandia menentang implementasi Brexit, dan tidak akan mengikuti langkah Johnson keluar dari Uni Eropa.

Penentangan Skotlandia menjadi masalah besar bagi pemerintahan Johnson, tapi belum jelas bagaimana London menyikapinya. tampaknya, ada beberapa skenario yang mungkin akan diambil Johnson. Pertama Johnson menyerahkan maslaah ini sebagaimana sebelumnya di Majelis Rendah Inggris dan mengimplementasikannya setelah disetujui oleh suara mayoritas, yang saat ini dikuasai partai konservatif.

Skenario kedua, Johnson akan melanjutkan negosiasi dengan Eropa tentang bagaimana implementasi Brexit. Eropa juga tampaknya menunjukkan lampu hijau dalam hal ini. Skenario ketiga keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan yang akan dimulai pada 31 Januari 2020. Namun, kecil kemungkinan akan diambil.

Kini, Johnson menghadapi jalan yang sulit dan berliku untuk menjalankan Brexit. Masalah keamanan perbatasan, terutama perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia, pemisahan Skotlandia dan Irlandia Utara dari Inggris dan penentangan mereka terhadap implementasi Brexit, serta implikasi ekonominya karena kompleksitas masalah hubungan ekonomi yang berbeda antara Inggris dan Uni Eropa menjadi tantangan besar Johnson. (PH)