Faktor Pengunduran Diri Naftali Bennett dari Kekuasaan dan Politik
Naftali Bennett menyatakan tidak akan mencalonkan diri di pemilu parlemen mendatang.
Ia menyatakan sikapnya ini setelah Knesset resmi dibubarkan, dan kekuasaan diserahkan kepada Yair Lapid, mitranya di koalisi untuk mengatur urusan pemerintah rezim ilegal hingga diselenggarakannya pemilu tiga bulan mendatang.
Ketika Bennett berkuasa, ia tidak pernah berpikir bahwa kekuasaannya tidak lebih dari satu tahun, karena ketika membagi kekuasaan dengan Lapid, ia menyepakati bahwa posisi perdana menteri akan digilir setiap dua tahun. Berdasarkan pembagian kekuasaan ini, masih satu tahun lagi masa kekuasaan Bennett, tapi bukan saja ia gagal menyelesaikan masa pemerintahannya, bahkan ia memutuskan untuk pensiun dari dunia politik untuk selamanya.
Kini pertanyaannya, faktor apa saja yang mendorong Bennett mengambil keputusan ini ?
Sepertinya salah satu faktornya adalah dia tidak berhasil menghalangi saingannya yang keras kepala dan akhirnya menyerah dan meninggalkan dunia politik.
Netanyahu menganggap Bennett sebagai anak didiknya dan tidak pernah berpikir ia akan mengkhianatinya. Tapi di pemilu sebelumnya, meski Netanyahu meraih kursi terbanyak di Knesset, tapi karena berbagai alasan, termasuk tekanan kasus korupsi, di mana Bennett juga terlibat di dalamnya, Netanyahu tidak berhasil melanjutkan posisi perdana menterinya, dan setelah 15 tahun berkuasa ia akhirnya menyerahkan kekuasaan. Tapi demikian, sejak hari pertama pemerintahan baru, Netanyahu langsung meluncurkan sabotasenya terhadap pemerintahan Koalisi Bennett-Lapid, dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk merusak koalisi ini.
Netanyahu mengerahkan segenap upayanya untuk menumbangkan pemerintah Koalisi Bennet-Lapid yang hanya memiliki satu kursi unggul darinya dan kehilangan suara mayoritasnya serta mempersiapkan peluang keruntuhan koalisi ini.
Dengan berbagai skenario, Netanyahu akhirnya berhasil membujuk dua pembantu Bennett keluar dari partai dan koalisinya, dan membuat koalisi ini kehilangan suara mayoritas di parlemen.
Untuk mencapai tujuan ini, Netanyahu bahkan memblokir pengesahan RUU yang memperluas hukum Israel ke distrik Zionis di Tepi Barat, sehingga meningkatkan suara protes para pemukim Zionis.
Dengan latar belakang ini, Bennett berpikir bahwa jika dia mencalonkan diri dalam pemilihan berikutnya, dia akan dikaitkan dengan sabotase Netanyahu lagi, dan ada kemungkinan bahwa kelanjutan permainan dengan Netanyahu akan merenggut nyawanya.
Berdasarkan hal ini, tidak ada keraguan bahwa kedalaman dan ruang lingkup krisis dan perpecahan internal rezim Zionis berpengaruh dalam pengunduran diri Bennett dari kekuasaan dan bahkan panggung politik, dan mungkin Bennett berpikir bahwa dengan melakukan itu, dia dapat membantu mengendalikan dan mengurangi krisis ini. Namun faktor lain yang bisa berpengaruh dalam hal ini adalah pendekatan dan kinerja Bennett selama setahun terakhir, yang lebih dari Netanyahu melibatkan rezim Zionis dalam konflik asing, terutama dari Iran dan sekutu regionalnya.
Bennett mengekspos agresi rezim terhadap kepentingan dan kedaulatan Iran dalam menghadapi propaganda dan ancaman Netanyahu, yang selalu menuduhnya sampah, untuk menghadirkan catatan yang dapat dipertahankan terhadap saingan domestik, termasuk Netanyahu. Tapi ia lalai bahwa langkah membuat Israel dalam posisi bertahan dan ini membuka peluang bagi kubu muqawama untuk membalas agresi dan pelanggaran rezim ini dengan motivasi lebih besar.
Dari sudut pandang ini, keputusan Bennett untuk mengundurkan diri sepertinya bukan keputusan pribadi, tapi keputusan ketua dan pemimpin rezim Zionis yang dengan mengeluarkan Bennet dari fokus publik, berusaha mengubah posisi bertahan Israel dan meningkatkan level keamanan rezim ini. Tapi sepertinya kecil kemungkinan metode ini mampu memberi hasil yang diinginkan Tel Aviv. (MF)