Mengejutkan! AS Tutup Mata atas Fakta Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera
-
Shireen Abu Akleh, jurnalis Al Jazeera.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa pembunuhan terhadap reporter Al Jazeera Qatar Shireen Abu Akleh, 51 tahun, tidak disengaja.
Jurnalis Al Jazeera Shireen Abu Akleh, 51 tahun, ditembak mati di kepala pada Rabu (11/5/2022) pagi oleh tentara Zionis Israel. Dia adalah salah satu wartawati paling terkenal di dunia Arab.
Shireen bekerja sebagai jurnalis Al Jazeera sejak tahun 1997, setahun setelah jaringan ini diluncurkan. Dia dalah wartawati senior dalam jaringan tersebut.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS mengenai kasus pembunuhan terhadap Abu Akleh sangat mengejutkan publik. Pasalnya, pembunuhan terhadap Abu Akleh disaksikan oleh banyak orang, bahkan di depan jutaan pemirsa jaringan tersebut.
Pengumuman dan penilaian Kemlu AS atas kasus tersebut jelas merupakan penghinaan nyata terhadap kesadaran jutaan orang di dunia.
Jika penilaian seperti itu dibuat oleh pemerintahan Donald Trump, mungkin itu tidak akan terlalu mengejutkan, tetapi penilaian itu keluar dari Kemlu AS dari pemerintahan Partai Demokrat Joe Biden sehingga memunculkan banyak pertanyaan.
Namun hal itu sekali lagi menegaskan fakta bahwa pemerintahan Biden mengikuti jalan yang sama seperti pemerintahan Trump tentang rezim Zionis Israel. Tentu saja, Antony Blinken telah menunjukkan hal itu dengan kinerjanya pada masa lalu.
Oleh karena itu, tidak ada keraguan bahwa pernyataan Kemlu AS tentang pembunuhan Abu Akleh yang dinilainya tidak disengaja sepenuhnya bias dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan Partai Demokrat dan klaimnya untuk mendukung kebebasan berbicara dan kebebasan media.
Abu Akleh dibunuh karena menggunakan platform yang disediakan oleh Al Jazeera untuk menginformasikan kepada publik tentang tindakan ekspansionis Israel di wilayah Palestina yang diduduki.
Abu Akleh juga memainkan peran kunci dalam mengungkap ketidakmampuan rezim Zionis untuk menangani beberapa operasi anti-Zionis yang terjadi di dalam wilayah Pendudukan tahun 1948, yang dikenal sebagai Israel, dan dia mencatat skandal keamanan untuk rezim ini dan pemerintah koalisi Naftali Bennett dan Lapid.
Berdasarkan bukti dan fakta, Israel telah membunuh Abu Akleh dengan sengaja. Tel Aviv, selain ingin membalas atas aksi Abu Akleh yang mengungkap dan memberitakan fakta di Palestina pendudukan, juga ingin memperingatkan wartawan dan media lainnya untuk tidak mengikuti jejak jurnalis Al Jazeera tersebut. Dengan demikian rezim Zionis akan mudah untuk melanjutkan langkah-langkah ekspansionisme di bumi Palestina tanpa diketahui publik dunia.
Menurut bukti dan dokumen yang ada, Abu Akleh dibunuh di Jenin beberapa saat sebelum dimulainya operasi pasukan Israel. Sebelum Abu Akleh dan rekannya terkena 16 peluru, tidak ada penembakan di tempat itu.
Pada saat itu, banyak evaluasi menunjukkan hal ini bahwa penembakan terhadap Abu Akleh dilakukan dengan niat membunuhnya, sebab dia mengenakan rompi pers yang dengan jelas menandai dia sebagai seorang jurnalis saat meliput di kota Jenin. Abu Akleh juga mengenakan helm yang ditandai dengan jelas sebagai "PRESS".
Sama seperti Mohammad Bin Salman (MBS) yang membunuh Jamal Khashoggi sebagai peringatan terhadap para penentangnya agar tidak mengungkap perebutan kekuasaan olehnya dan kebijakan monopoli yang diambilnya.
Israel juga demikian, dengan membunuh Abu Akleh, Tel Aviv ingin jurnalis dan media lain berhenti berurusan dengan masalah Palestina dan tidak mengungkap kebijakan penjajahannya, terutama di al-Quds dan Masjid al-Aqsa.
Seperti halnya sebelumnya bahwa pemerintah Biden meninggalkan pengejaran atas kasus pembunuhan Khashoggi, kini juga tunduk pada narasi dan manipulasi rezim Zionis atas pembunuhan Abu Akleh. Padahal kebijakan itu bertentangan dengan slogan Demokrat dan Biden dalam kampanye pemilu lalu.
Secara umum, pendekatan para pejabat dan media Barat, baik AS maupun Eropa, terhadap kasus pembunuhan Abu Akleh, sekali lagi mempertanyakan klaim mereka untuk mendukung kebebasan berpendapat dan media.
elain itu, hal itu juga membuktikan kembali fakta bahwa konsep hak asasi manusia adalah penting untuk mereka ketika tidak bertentangan dengan kepentingan dan kebijakan mereka dan sekutunya, rezim Zionis. Setiap kali terjadi konflik di bidang ini, prinsip dan hak asasi manusialah yang mereka korbankan demi kepentingan mereka. (RA)