Konsekuensi Perang Gaza, Zionis Tidak Mampu Mempertahankan Diri
(last modified Thu, 09 May 2024 04:08:11 GMT )
May 09, 2024 11:08 Asia/Jakarta
  • Operasi Badai Al-Aqsa
    Operasi Badai Al-Aqsa

Para analis hubungan internasional percaya bahwa rezim Zionis tidak dapat mempertahankan diri tanpa dukungan Amerika, dan kerentanannya telah terungkap.

Lebih dari 7 bulan telah berlalu sejak genosida rezim Zionis terhadap rakyat Gaza. Selama periode ini, sekitar 35 ribu orang gugur syahid dan lebih dari 38 ribu orang terluka.

Terlepas dari kejahatan yang terjadi di Gaza, perang ini mempunyai banyak konsekuensi bagi rezim Zionis, beberapa di antaranya bersifat strategis.

Salah satu konsekuensi strategis dari perang melawan Gaza adalah meningkatnya rasa jijik global terhadap rezim Zionis.

Sementara masyarakat di berbagai negara menyatakan dukungan mereka terhadap Gaza dan rasa muak mereka terhadap rezim Zionis dengan mengadakan demonstrasi, para elit juga mengambil sikap yang jelas terhadap kejahatan rezim Zionis dan menunjukkan rasa muak mereka terhadap Tel Aviv.

Di bawah bayang-bayang ketidakpedulian bahkan dukungan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat, terhadap genosida di Gaza, para pelajar di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menggelar demonstrasi besar-besaran untuk mendukung rakyat Gaza dan mengutuk kejahatan rezim Zionis.

Demonstrasi mahasiswa di universitas-universitas Amerika dan Eropa serta dukungan sejumlah besar dosen di universitas-universitas itu terhadap demonstrasi tersebut merupakan wujud nyata kebencian dan rasa muak global para akademisi terhadap rezim Zionis.

Mahasiswa AS pro-Palestina ditahan polisi

Konsekuensi strategis penting lainnya adalah terungkapnya kerentanan militer dan intelijen rezim Zionis.

Rezim ini menghadapi kegagalan intelijen dan militer tidak hanya pada tanggal 7 Oktober tetapi juga selama 7 bulan terakhir.

Karena di satu sisi gagal memprediksi dan mencegah operasi Badai Al-Aqsa dan di sisi lain gagal menemukan lokasi para sandera yang ditahan Hamas. Selain itu, rezim Zionis tidak mampu mendekati para komandan terkemuka Hamas seperti Yahya Sanwar dan Mohammed Dhaif.

Selain kegagalan intelijen dan militer, menjadi jelas bahwa rezim Zionis tidak dapat mempertahankan diri melawan kekuatan seperti Republik Islam Iran tanpa dukungan Amerika Serikat.

Pada tanggal 1 April, rezim Zionis menyerang bagian konsuler kedutaan Besar Republik Islam Iran di Suriah, yang mendapat tanggapan dari Republik Islam Iran pada tanggal 14 April.

Republik Islam Iran menembakkan ratusan drone dan rudal dari wilayahnya menuju Wilayah Pendudukan, dan rezim Zionis, dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris dan Prancis, mencoba mencegat drone dan rudal tersebut.

Namun, sejumlah besar rudal mencapai sasaran dengan melewati sistem pertahanan.

Sekaitan dengan hal ini, Azriel Bermant, peneliti senior di Institut Hubungan Internasional di Praha, menulis dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs majalah Amerika Foreign Policy, Kemampuan nuklir Israel tidak menghalangi Iran untuk melakukan serangan hukuman terhadapnya. Pada tahun 1991, Israel telah memperingatkan Irak bahwa dalam menanggapi serangan apa pun, akan ada pembalasan besar-besaran, tapi hal ini tidak menghentikan Irak untuk meluncurkan rudal Scud. Serangan hukuman Iran mengungkap kebenaran pahit bagi ekstremis Tel Aviv dan ekstremis Kementerian Perang Israel, bahwa tanpa intervensi Amerika Serikat dan sekutu lainnya, termasuk tetangga dan mitra Arab, Israel tidak mampu mempertahankan diri.

Bermant menegaskan, Serangan Hamas pada 7 Oktober dan Iran pada 14 April memperjelas bahwa Israel tidak bisa mengandalkan diri sendiri untuk melawan, apalagi mengalahkan musuh-musuhnya.(sl)