Prancis Mengakui Pendekatan Apartheid Rezim Israel terhadap Palestina
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian pada hari Minggu (24/05/2021) memperingatkan kelanjutan apartheid oleh rezim Zionis, mengutip bentrokan baru-baru ini antara Zionis dan Arab yang telah dimulai di beberapa kota Palestina yang diduduki. Dia adalah salah satu pejabat senior Prancis pertama yang menggunakan istilah apartheid untuk menggambarkan rezim Israel.
Le Drian menekankan bahwa risiko apartheid akan tinggi jika rezim Israel tetap hidup berdasarkan satu negara dan mempertahankan status quo, karena situasi saat ini menunjukkan berlanjutnya situasi seperti itu.
Ini adalah pertama kalinya seorang pejabat senior Eropa mengakui pendekatan apartheid rezim Zionis terhadap Palestina. Istilah apartheid atau "sistem pemisahan ras" secara harfiah berarti tetap terpisah dan merupakan kata dalam bahasa Belanda yang merupakan salah satu bentuk diskriminasi rasial.
Istilah ini digunakan untuk merujuk pada kebijakan diskriminatif kaum rasis Afrika Selatan terhadap mayoritas penduduk asli kulit hitam selama rezim apartheid. Namun, istilah tersebut masih digunakan untuk merujuk pada kebijakan segregasi etnis dan ras. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menunjukkan bahwa Israel adalah rezim apartheid.
Menurut hukum internasional, khususnya Statuta Roma, di mana Mahkamah Pidana Internasional dibentuk berdasarkannya, apartheid adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindakan Israel terhadap Palestina selama beberapa dekade terakhir, terutama di Wilayah Pendudukan 1967, selalu didasarkan pada segregasi etnis, dan rezim Zionis terus berupaya untuk mengurung orang-orang Palestina dengan membangun penghalang di banyak bagian Tepi Barat.
Hal ini telah mengarahkan perhatian organisasi hak asasi manusia pada pendekatan Israel yang tidak manusiawi dan ilegal terhadap pemisahan dan pengurungan warga Palestina. Pada akhir April 2021, Human Rights Watch, sebuah lembaga non pemerintah dan internasional yang berbasis di New York, menerbitkan laporan setebal 213 halaman yang menggambarkan rezim Zionis sebagai apartheid dan menyerukan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili "para pejabat Israel".
"Rezim apartheid bukanlah demokrasi," kata Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Demokrat di Kongres.
Menurut Human Rights Watch, setelah beberapa dekade peringatan berulang kali tentang kemungkinan dominasi Israel atas kehidupan Palestina yang mengarah ke apartheid, ambang batas ini sekarang telah dilewati dan situasi saat ini adalah apartheid.
Sesuai laporan ini, para pejabat Zionis di wilayah pendudukan Palestina, di mana sekitar sepersembilan penduduknya adalah warga Palestina, serta di Wilayah Pendudukan 1967, berusaha memaksimalkan tanah untuk Yahudi dan menempatkan warga Palestina di wilayah geografis yang padat penduduk dan terbatas. Rezim Zionis juga secara sistematis mendiskriminasi Palestina, dan ini paling parah terjadi di wilayah pendudukan, termasuk Tepi Barat.
Amerika Serikat, sebagai pendukung setia Israel, sangat menentang laporan tersebut dan isinya, terutama menyebutnya apartheid. Alexandria Ocasio-Cortez, anggota Demokrat di Kongres menilai rezim Zionis sebagai contoh rezim apartheid, dan mengkritik para pemimpin AS karena mempertahankan hak Israel untuk membela diri.
"Rezim apartheid bukanlah demokrasi," kata Cortez, mengkritik kebijakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menargetkan warga Palestina di Jalur Gaza dan wilayah pendudukan lainnya.
Namun sekarang pengakuan menteri luar negeri Prancis menunjukkan bahwa Eropa juga mengakui sifat apartheid Israel. Sekalipun demikian, pertanyaan saat ini adalah mengapa negara-negara besar Eropa seperti Prancis, Jerman dan Inggris adalah pendukung utama Israel, dan dalam kasus-kasus sensitif, seperti perang terbaru Gaza, alih-alih mengutuk tindakan kriminal Israel terhadap Palestina, justru berusaha membenarkan kejahatan Israel dengan dalih membela diri dan mengambil posisi anti-Palestina.