Pengaruh Media Sosial di Panggung Politik
Media awalnya dibentuk sebagai instrumen sederhana untuk menyampaikan informasi, tetapi sekarang media telah mengubah seluruh kehidupan manusia dan menghadirkan makna baru bagi kehidupan. Perkembangan teknologi informasi ini telah menjadi sumber perubahan besar di bidang kekuatan politik dan ekonomi dunia.
Teknologi komunikasi modern memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku para aktor politik, yang dapat ditelusuri di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Dunia maya – yang merupakan produk dari teknologi World Wide Web – dengan sendirinya memiliki fitur menarik dan penting, dan perannya yang paling penting adalah menciptakan perubahan di bidang politik dan komunikasi antara pemerintah dan rakyat.
Internet mendefinisikan konsep-konsep baru untuk globalisasi dan menghadirkan pandang baru terhadap dunia politik. Menurut pakar sosiologi dan komunikasi, Manuel Castells, posisi internet sebagai infrastruktur dasar masyarakat informasi sangat penting, karena internet membantu memperkuat masyarakat informasi di segala aspeknya.
Istilah jejaring sosial pertama kali diperkenalkan oleh Professor J.A Barnes pada tahun 1954, dan dengan cepat menjadi kategori utama dalam penelitian dan studi. Dalam istilah jejaring sosial tradisional, jejaring sosial merupakan sebuah sistem struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individu atau organisasi. Jejaring sosial ini akan membuat mereka yang memiliki kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang telah dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga bisa saling berhubungan.
Saat ini, jejaring sosial menjadi tempat berkumpulnya ratusan juta pengguna internet yang berinteraksi dan bertukar informasi tanpa memandang batas, bahasa, jenis kelamin, atau budaya. Pada dasarnya, jejaring sosial dirancang untuk meningkatkan dan memperkuat interaksi sosial di dunia maya.
Dalam kasus pemilu presiden di Amerika Serikat, media sosial memainkan peran yang sangat penting untuk menarik perhatian masyarakat pada isu-isu utama seperti program kandidat presiden dan lain-lain. Tinjauan atas tiga pemilu pilpres AS – dua periode Barack Obama dan satu periode Donald Trump – menunjukkan bahwa Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya memainkan peran kunci.
Menurut keterangan resmi Facebook, perusahaan ini – dengan investasi signifikan di abad ke-21 – melakukan berbagai aktivitas untuk mengelola media sosialnya selama pemilu AS. Dengan ribuan pegawai dan data dari lebih dari 200 pemilu di seluruh dunia, Facebook berusaha memberikan tingkat keamanan terbaik dalam pilpres Amerika.
Beberapa kebijakan dan langkah Facebook meliputi: memberikan informasi yang kredibel kepada pengguna yang diverifikasi oleh otoritas yang kompeten, konten yang disebarkan oleh kandidat dan tim kampanyenya selama proses penghitungan suara akan disertai dengan tanda yang menunjukkan bahwa penghitungan masih berlangsung dan belum ada pemenang final, larangan mengeluarkan seruan kepada masyarakat untuk terlibat dalam pemantauan pemungutan suara dengan menggunakan cara militer seperti mengintimidasi atau menggunakan kekuasaan.
Kemenangan Donald Trump dalam pilpres 2016 telah menarik perhatian pada pengaruh besar Facebook dalam mengelola pemilu. Para analis media percaya bahwa Facebook telah membuka jalan bagi kemenangan Trump dengan membiarkan penyebaran rumor, berita bohong, dan informasi yang salah.
Trump mengenal media dengan baik dan pernah bekerja dengan mereka. Dia mengetahui kelemahan media dan menyukai media-media yang membantu menyampaikan idenya kepada orang banyak. Dia membenci media atau jurnalis yang ingin mencari-cari kesalahannya atau menolak pandangannya.
Trump menggunakan setiap kesempatan untuk merusak media dan berusaha menciptakan perpecahan di masyarakat. Selama memimpin Gedung Putih, Trump tidak begitu tertarik untuk mengumumkan agenda kegiatannya melalui televisi dan media tradisional, dia lebih memilih media sosial dan berbicara langsung kepada publik. Mungkin menurutnya, langkah semacam ini jauh lebih murah daripada menggunakan jasa televisi.
Namun situasi telah berubah pada pilpres 2020. Facebook untuk sementara menolak medianya dijadikan sebagai alat propaganda politik dengan alasan mencegah penyebaran informasi yang salah tentang pemilu presiden AS. Tindakan ini membuat banyak orang menuding Facebook bersikap bias.
Para analis dan sosiolog media mengatakan bahwa masalahnya bukanlah larangan tersebut, tetapi Facebook seringkali bersikap tidak transparan. Para kritikus mengatakan algoritma news feed Facebook dirancang untuk mendorong pengguna menghabiskan lebih banyak waktu di situs mereka.
Zeynep Tufekci, sosiolog media asal Turki dalam sebuah artikel di New York Times menulis, "Hanya Facebook yang memiliki data yang dapat mengungkapkan dengan tepat bagaimana berita palsu, hoax, dan misinformasi menyebar, seberapa banyak, siapa yang membuat dan siapa yang membacanya, dan seberapa besar pengaruhnya. Sayangnya, Facebook melakukan kontrol penuh atas akses ke data ini oleh para peneliti independen. Ini seperti perusahaan tembakau yang mengontrol akses ke semua catatan medis pasien korban rokok."
Pada 2016, Facebook membantu Trump untuk mengumpulkan dana publik sampai 250 juta dolar. Direktur kampanye urusan digital Trump, Brad Parscale mengatakan 90 juta dolar dari sumbangan itu dihabiskan untuk iklan online, dengan sebagian besar masuk ke kantong Facebook.
Pada 11 November atau setelah pilpres 2020, Facebook memperpanjang larangan iklan politik di tengah gencarnya Trump membuat tweet tentang kecurangan pemilu. Langkah ini dikritik oleh beberapa tokoh karena merusak kebebasan berekspresi dan membungkam pendapat. Facebook juga dituduh menyensor informasi yang menyerang Presiden baru AS Joe Biden dan memodifikasi propaganda politik Trump.
Faktanya, Facebook mendukung Trump pada pilpres 2016 dan memilih melawannya pada pemilu AS 2020. Menurut media Amerika, Politico, Trump dilucuti dari senjata media sosialnya yang paling kuat, dia menghadapi krisis eksistensial pada saat bahaya maksimum.
"Pada hari yang menentukan dari pemerintahannya yang menggelora, Donald Trump yang biasanya sangat berisik, diberangus," tulis Politico.
"Sepertinya dia menghilang dari muka bumi,” kata Tony Schwartz, salah satu penulis The Art of the Deal.
Twitter adalah platform media sosial lain yang membungkam Trump. Selama ini, Twitter menjadi alat yang paling efektif bagi presiden AS dan dia menggunakan sarana ini untuk menyatakan posisi dan tuntutannya serta untuk menarik perhatian dan mengancam anggota Kongres, serta pemerintah negara lain. Namun, Trump sekarang kehilangan megafon ini secara permanen. Apalagi Mark Zuckerberg telah mendepaknya dari Facebook dan Instagram melarang aktivitasnya hingga Joe Biden dilantik.
Mantan pengacara Trump, Michael Cohen mengatakan bahwa ketergantungan Trump pada Twitter bahkan telah menggantikan kebutuhan dasarnya akan oksigen untuk bernapas.
Penulis biografi Trump, Gwenda Blair, menyamakan kehilangan kekuatan Trump untuk membangun hubungan via Twitter sebagai "impeachment virtual."
Terlepas dari semua kontroversi jagad maya dan dunia politik, perusahaan media sosial Facebook – yang dituduh menyensor kebebasan berekspresi selama kampanye pilpres AS – telah mengumumkan bahwa mereka akan membatasi konten politik di platformnya.
CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengatakan bahwa pihaknya tidak akan lagi merekomendasikan konten kelompok sipil dan politik kepada pengguna platform tersebut. Namun, Zuckerberg menolak menjawab bagaimana dia akan mengurangi konten politik dari feed berita pengguna.
Keputusan Facebook ini tampaknya tidak memuaskan para kritikus perusahaan tersebut. Mereka percaya bahwa satu-satunya solusi adalah meningkatkan kesadaran dan memperkuat sistem keamanan pengguna dari pengaruh jejaring sosial dan berita bohong yang tersebar di sana. Jika tidak, maka kemunculan makhluk yang lebih aneh dari Trump dengan bantuan media sosial ini, tidak dapat dielakkan. (RM)