Des 02, 2023 10:56 Asia/Jakarta

Dengan berakhirnya gencatan senjata selama 7 hari, rezim Zionis telah melanjutkan serangan terhadap Jalur Gaza dalam sebuah langkah yang sudah diperkirakan sebelumnya.

Perkembangan baru di Gaza dimulai pada 7 Oktober.

Menanggapi meningkatnya kekerasan Zionis, pejuang Hamas melakukan operasi Badai Al-Aqsa dan menimbulkan kekalahan militer dan intelijen terberat pada rezim Zionis.

Tentu saja rezim Zionis, yang sangat marah dengan operasi mendadak ini, memberlakukan perang terhadap rakyat Gaza selama sekitar 50 hari, dan selama periode ini, apa yang dilakukannya merupakan contoh genosida dan pembersihan etnis.

Warga Gaza di atas tank Merkava

Selama periode ini, lebih dari 15 ribu orang menjadi martir, 70% di antaranya adalah anak-anak dan perempuan.

Setelah sekitar 50 hari, rezim Zionis dan Hamas menyetujui gencatan senjata selama 4 hari dengan mediasi Qatar, yang dimulai setelah Jumat lalu dan diperpanjang dua kali, yang pertama dua hari dan yang kedua satu hari.

Fokus utama perjanjian ini adalah pertukaran tahanan dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Setelah 7 hari dan berakhirnya gencatan senjata, rezim penjajah Quds sekali lagi melancarkan serangan terhadap jalur Gaza.

Kantor Perdana Menteri rezim Zionis, Benjamin Netanyahu, mengklaim bahwa gerakan Hamas tidak menjalankan tugasnya berdasarkan rencana pembebasan perempuan tawanan rezim Zionis dan menembakkan roket ke Wilayah Pendudukan.

Klaim ini dibuat ketika Hamas bukan hanya membebaskan para tawanan Zionis sesuai perjanjian, justru para tahanan yang dibebaskan memuji para pejuang Hamas atas perlakuan yang mereka terima selama ditawan.

Ada tiga poin mengenai dimulainya kembali perang terhadap Gaza.

Poin pertama adalah dimulainya kembali perang terjadi bersamaan dengan kehadiran Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS di Wilayah Pendudukan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Zionis mendapat persetujuan AS untuk melanjutkan perang.

Dalam perjalanannya baru-baru ini ke Wilayah Pendudukan, yang merupakan perjalanan ketiganya dalam dua bulan terakhir, Menteri Luar Negeri AS menekankan bahwa Israel berhak melakukan apa pun untuk memastikan pembunuhan Hamas pada 7 Oktober tidak terulang kembali.

"Hamas tidak bisa tetap berkuasa di Gaza."

Dengan berakhirnya gencatan senjata selama 7 hari, rezim Zionis telah melanjutkan serangan terhadap Jalur Gaza dalam sebuah langkah yang sudah diperkirakan sebelumnya.

Poin kedua adalah rezim Zionis terpaksa menyetujui perjanjian dengan Hamas di bawah tekanan opini publik dalam negeri.

Demonstrasi di Wilayah Pendudukan menentang kabinet Netanyahu kembali terjadi.

Keluarga para tawanan Zionis juga bergabung dengan para pengunjuk rasa dan bahkan datang dari jarak jauh ke Quds melakukan protes di depan rumah Netanyahu.

Untuk mengurangi tekanan internal dan mengkompensasi kegagalan pembebasan tawanan akibat pemboman Gaza, Netanyahu mencapai kesepakatan dengan Hamas.

Kepala Staf Gabungan Militer Israel, Herzi Halevi hari Kamis (30/11/2023), mengatakan bahwa rezim ini siap untuk melanjutkan perang di Gaza.

Menurutnya, Perang tidak akan segera berakhir.

Pejabat senior militer Israel ini lebih lanjut mengatakan bahwa militer Zionis bermaksud untuk memperluas persiapannya untuk memulai kembali perang dengan memanfaatkan masa gencatan senjata dan akan menggunakan setiap kesempatan untuk mengembalikan para tahanan Zionis dari Hamas.

Poin ketiga, kabinet Netanyahu penuh dengan orang-orang yang memiliki pandangan rasis dan ekstrem.

Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Zionis

Meskipun ada orang-orang seperti itu, dimulainya kembali perang terhadap Gaza tidak jauh dari prediksi.

Sekaitan dengan hal ini, Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Dalam Negeri Zionis menuntut penghancuran total Jalur Gaza, Hamas dan pendudukan total wilayah ini serta menghindari perjanjian dan konsesi apa pun.

Tags